Luna Maya, Maxime, dan Harapan Kami: Catatan dari Ibu Tiga Anak yang Sudah Lelah Jadi Tumbal Patriarki
![]() |
Sumber: Instagram Luna Maya |
Saya bukan siapa-siapa. Bukan artis, bukan selebgram, bukan aktivis perempuan dengan ribuan pengikut. Saya cuma ibu rumah tangga, anak tiga, yang hidupnya sekarang berkisar antara minyak goreng, PR anak SD, dan mencari tahu kenapa kulkas tiba-tiba bunyinya kayak suara kereta api.
Tapi beberapa hari terakhir, saya tergerak. Bukan karena diskonan bulanan di minimarket (meskipun itu juga menggairahkan), melainkan karena Luna Maya dan Maxime Bouttier akhirnya Menikah sah sebagai pasangan seumur hidup. Biasa aja sih, ya. Artis menikah. Tapi entah kenapa, hati saya bergetar. Mungkin karena saya merasa, kisah mereka bukan cuma tentang cinta dua orang yang cantik dan ganteng. Tapi tentang keadilan yang akhirnya mampir ke perempuan yang selama ini dibantai habis-habisan oleh masyarakat.
Karena jujur aja, saya tumbuh di era di mana nama Luna Maya lebih sering jadi bahan hinaan ketimbang pujian. Dianggap murahan, rusak, nggak pantas, dan semua label-label lain yang biasanya cuma dilempar ke perempuan. Laki-lakinya? Bebas melenggang. Masyarakat kita memang spesialis mengadili perempuan tanpa pengacara. Semua orang bisa jadi hakim, bahkan tukang parkir depan indomaret pun merasa berhak komentar soal moralitas perempuan yang tak dikenalnya.
Saya sampai mikir, perempuan itu kalau salah dikit bisa dihukum seumur hidup. Tapi kalau laki-laki salah? Paling banter dibilang "namanya juga cowok".
Kami Semua Pernah Jadi Luna Maya, Dalam Versi Kami Sendiri
Nggak semua perempuan masuk dunia hiburan atau disorot kamera. Tapi rasa dikucilkan, disalahkan, dan dilabeli “perempuan nakal” itu, rasanya familiar banget. Teman saya pernah dicibir habis-habisan cuma karena dia single mom. Ada tetangga yang bilang, “Itu mah pasti nggak bisa jaga diri.” Lah? Situ liat dia tiap hari kerja banting tulang buat anak, tapi yang diliat justru status “janda”-nya.
Saya juga pernah. Dulu waktu masih kerja kantoran dan anak saya baru satu, ada yang nyeletuk, “Wah, kayaknya karier terus ya, anak dititipin ibunya terus tuh.” Saya pengin jawab, “Iya, Bu. Kalau saya nggak kerja, bayar cicilan dari mana?” Tapi saya tahan. Karena cap perempuan ambisius, apalagi yang berani balas omongan, lebih tajam dari cicak-cicak gosip di dinding.
Makanya, kisah Luna Maya ini rasanya kayak oase. Bukan karena dia akhirnya punya pasangan, tapi karena dia bisa membuktikan bahwa perempuan bisa berdiri lagi meskipun pernah dibikin jatuh sedalam-dalamnya. Dan Maxime si manis green flag ini ternyata bukan cuma cakep, tapi juga cukup woke buat mencintai perempuan yang pernah dihukum oleh masyarakat, tanpa ikut-ikutan menghakimi.
Kenapa Kita, Perempuan, Sering Jadi Musuh Satu Sama Lain?
Ini pertanyaan yang menghantui saya tiap abis lihat kolom komentar gosip. Kok ya, yang paling ganas kadang justru sesama perempuan? Yang ngehina Luna Maya, yang komentar baju siapa terlalu terbuka, atau gaya asuh siapa salah, sering kali datang dari perempuan juga.
Padahal harusnya kita ini saling menguatkan. Dunia udah cukup kejam buat perempuan: dari gaji yang lebih kecil, standar kecantikan yang gila, sampe komentar soal rahim kita pun masih diperdebatkan banyak orang. Masa iya, kita masih sempat-sempatnya saling gontok?
Kalau kita lihat perempuan lain bangkit dari keterpurukan, kenapa nggak kita dukung? Kalau ada perempuan yang bahagia, kenapa nggak kita ikut senang? Kan katanya, perempuan itu ibu dari peradaban. Masa iya, peradaban isinya cuma nyinyir dan saling jatuhin?
Membangun Solidaritas, Dari Dapur Sampai Dunia Digital
Saya percaya, perubahan bisa dimulai dari hal kecil. Dari dapur. Dari grup WhatsApp arisan. Dari komentar di media sosial. Jangan buru-buru nge-judge pilihan hidup orang lain. Nggak semua orang mau jadi ibu rumah tangga, dan itu nggak apa-apa. Nggak semua orang bisa punya anak, dan itu juga nggak salah. Nggak semua orang bisa sembuh dari luka dengan cara yang sama, tapi yang penting kita saling pegang tangan.
Jadi, untuk Luna Maya: selamat ya. Kamu nggak cuma cantik, tapi kuat. Kamu mewakili banyak perempuan yang pernah dilukai tapi tetap memilih untuk tidak pahit.
Dan untuk Maxime, makasih sudah jadi contoh bahwa laki-laki bisa kok mencintai tanpa syarat. Semoga makin banyak Maxime lain di dunia ini yang nggak minder pacaran sama perempuan pintar, berdaya, dan pernah jatuh bangun.
Dari saya, ibu tiga anak yang tiap malam ketiduran sebelum sempat me time, tapi masih punya harapan bahwa dunia ini suatu hari akan lebih ramah pada perempuan. Atau setidaknya: kita, para perempuannya, mau saling rangkul, bukan saling injak.
1 comments
Terkadang memang ga paham, apa sih isi kepala para wanita yg sering menghina sesamanya. Merasa Malaikat putih bersih tanpa dosa atau gimana. Kok bisa2nya menghina tanpa sadar kesalahan diri sendiri
BalasHapusAtau memang suka aja dpt perhatian walao caranya salah?
Aku juga ikut seneng akhirnya LM dapat jodoh yg lebih baik mba. Di antara sekian banyak pernikahan artis, cuma pernikahan dia yg aku ikutan bahagianya, dan ikut doain langgeng. Dia layak sih bahagia dan mendapat jodoh yg lebih 👍👍