Makvee Story

Travel Enthusiast, Hotel Reviewer, and Food Lovers

  • Home
  • Travel
  • Kuliner
  • Hotel
  • Lifestyle
  • Contact Us

Ada satu momen dalam hidup saya yang bikin saya berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, terus mikir, "Oh pantesan." 

Momen itu bukan momen putus cinta, bukan juga momen pas dompet ilang di Alfamart, tapi momen pas saya muji seseorang. Ya, muji doang. Muji. Sesimpel itu. Tapi ujungnya malah bikin saya ngelus dada sambil mikir, “Ya Gusti, hidup ternyata segenting ini buat sebagian orang.”

Jadi begini ceritanya…

Saya ini termasuk orang yang cukup ekspresif kalau ngeliat sesuatu yang menurut saya keren. Bukan karena pengen cari muka, bukan juga karena nggak punya kerjaan. Emang dasarnya saya percaya, kadang satu pujian bisa jadi penyambung nyawa buat orang yang hidupnya lagi remuk redam. Makanya, kalau saya ngeliat temen bikin karya bagus, dandan cantik, atau sekadar ngejawab diskusi dengan pintar, saya nggak pelit buat bilang, “Wah keren banget!” atau “Gila, ini bagus banget sih.”

Nah, suatu hari, saya kasih komentar ke seseorang. Bukan gebetan, bukan juga idola. Orang biasa aja, tapi saya liat dia bikin sesuatu yang menurut saya keren. Maka saya komentar, “Keren banget ini!” titik. Udah, sesimpel itu. Dan bukannya jawab “Terima kasih”, dia malah ngetik: “Apanya yang keren? Dan BLA BLA BLA Ah nggak juga, biasa aja kok. Saya mah bukan siapa-siapa.” dan BLA BLA BLA bahwa yang dia lakukan bulan sekedar keren kemudian bersikap superior dengan memangil saya dek alih-alih memanggil saya nama kayak biasanya. 

Iyahhh, kadang emang gitu ya… orang yang punya kepahitan hidup tuh bisa banget nutupinya dengan sikap "sok humble", tapi dalamnya nyimpen banyak unek-unek dan rasa nggak puas. Pas dikasih pujian malah responnya defensif atau sinis, padahal yang ngomentarin tuh tulus aja, nggak ada niat ngapa-ngapain.

Bisa jadi karena mereka sendiri belum berdamai sama luka atau kurang validasi, jadi susah nerima apresiasi tanpa ngerasa terancam. Tapi tetep aja, saya yang nerima jadi bingung dan malah mikir “wah, kenapa ya?” padahal niat saya  baik.

Oke, saya masih tahan. Saya pikir, mungkin dia humble.

Tapi entah kenapa, satu dua menit kemudian, dia bales komen saya agak panjang, nyerempet ke arah orang-orang yang “sok muji biar keliatan baik”, orang-orang yang “suka membesar-besarkan hal biasa”, dan satu kata yang bikin saya bertanya tanya "Lah? Lah saya salah apa?"

Saya scroll-scroll, dan makin jelas: ternyata di balik caption yang kalem dan tulisan yang bijak, ada laut dalam yang isinya penuh amarah, dendam kecil, dan fragmen-fragmen luka lama. Dan saya, dengan polosnya, dateng bawa pujian. "Salah banget aku, dek?"

Dari situ saya sadar, ada orang-orang yang hidupnya penuh kepahitan tapi menutupi semuanya dengan selimut bernama “rendah hati”. Tapi itu bukan rendah hati yang hangat dan membumi, tapi rendah hati yang kalau disentuh malah nusuk. Yang kelihatannya kalem, tapi isinya kayak lapisan lava di bawah kerak bumi.

Dan yang bikin sedih, kadang orang-orang kayak gini nggak butuh pujian. Bukan karena nggak suka diapresiasi, tapi karena mereka udah nyetel mindset: aku nggak layak dikasih pujian, semua orang yang muji pasti ada maunya. Pahit banget nih orang lebih pahit dari jamu brotowali. Padahal di captionya manggil manggil Tuhan mulu. Hei Tuhan itu penuh Kasih, itu Tuhan yang saya kenal.

Jadi ya sudah. Mulai sekarang, saya belajar. Kalau nemu orang kayak gitu, saya cukup senyum. Mau muji, saya pikir dua kali. Bukan karena saya jadi pelit pujian, tapi karena saya sadar: nggak semua orang siap nerima kebaikan, bahkan yang sesederhana ucapan “keren”.

Karena kadang, yang mereka butuh bukan validasi dari luar. Tapi terapi entah itu meditasi atau ke psikolog. Atau pelukan. Atau minimal, segelas air putih dan keinginan untuk maafin diri sendiri. Dan saya tidak dalam kapasitas itu semua karena sesimple kata "keren" aja ah sudahlah saya ga mau ikut-ikut lagi. Singkat, padat, mute. Kapok berurusan sama orang sulit.


Sebagai seorang ibu, aku ini sebenarnya sudah cukup sibuk. Urusan dapur, anak, suami, rumah, kadang ditambah scroll-scroll media sosial biar nggak kudet. Tapi belakangan, aku menemukan hobi baru yang bikin hidup makin seru, sehat, dan ini yang paling penting hemat! Namanya foraging, alias ngramban dalam bahasa Jawa.  


Buat yang belum tahu, ngramban itu adalah kegiatan mencari dan memanfaatkan tanaman liar di sekitar rumah untuk diolah jadi makanan, baik buat manusia maupun buat ternak. Ini beda tipis sama berburu makanan di pasar tradisional, cuma kalau ngramban, barangnya gratis dan tumbuh liar. Tapi ingat, ngramban itu bukan nyolong! Jangan asal metik di kebun tetangga terus bilang “Ini aku lagi melestarikan budaya foraging.” Nggak gitu konsepnya, Bu. Itu namanya maling dedaunan.  

Nah, sejak aku mulai ngramban, aku jadi sering keliling halaman rumah sambil ngamatin mana tanaman yang bisa dimakan dan mana yang sebaiknya dijauhi karena bisa bikin perut nyeri seharian. Dan ternyata, banyak banget tumbuhan liar yang sebenarnya bernutrisi tinggi dan bisa diolah jadi makanan enak.  

Foraging di Halaman Sendiri: Harta Karun yang Tersembunyi


Ceritanya, aku mulai ngramban ini gara-gara lihat ibu-ibu di TikTok yang rajin petik-petik daun terus dimasak jadi makanan sehat. Awalnya aku skeptis. Mosok sih, daun yang biasanya diinjak-injak bisa jadi lauk? Tapi setelah baca-baca dan tanya orang-orang tua di kampung, ternyata banyak loh tanaman liar yang bisa dikonsumsi.  

Di halaman rumah, aku nemu pegagan yang katanya bisa bikin otak encer. Pantesan kakek-nenek dulu nggak kenal yang namanya suplemen, wong tiap hari ngemil daun pegagan. Terus ada bunga turi, yang bisa dijadikan tumisan pedas atau campuran pecel. Lalu ada daun singkong yang sering dipandang sebelah mata padahal kaya akan zat besi. Ada dunk kemangi, daun ubi jalar, daun pepaya jepang yang punya manfaat baik untuk pencernaan. Bahkan, aku pernah nemu jamur liar  yang kalau dijual di restoran mahal bisa bikin dompet menipis.  

Dan yang paling menyenangkan? Semua ini gratis! Tinggal petik, cuci bersih, masak, lalu makan. Rasanya? Jangan ditanya. Segar, alami, dan tentunya penuh gizi.  

Ngramban Itu Beda Sama Nyolong!
Tapi ya, ngramban ini ada aturannya. Yang pertama dan paling penting: jangan asal petik di tanah orang! Kalau halaman rumah sendiri, ya silakan. Tapi kalau lihat tanaman subur di pekarangan tetangga, jangan langsung kepikiran buat metik sambil bisik-bisik dalam hati, “Rezeki nggak boleh ditolak.”  

Aku punya cerita lucu soal ini. Suatu hari, aku lihat ada tanaman kangkung liar di pinggir jalan dekat rumah. Karena aku udah level emak-emak hemat, langsung kepikiran, “Wah, bisa buat sayur bening nih.” Tapi sebelum aku metik, ada ibu-ibu yang sudah metik duluan dan ternyata itu punya Pak RT. Untung aja aku masih pantau belum jadi petik. Jadi buat yang mau ngramban, pastikan dulu wilayahnya BEBAS KLAIM   

Selain itu, jangan asal makan tanaman liar tanpa riset dulu. Jangan mentang-mentang hijau dan kelihatan enak, langsung dicoba. Salah-salah, yang tadinya mau hidup sehat malah masuk UGD.  

Manfaat Ngramban: Lebih dari Sekadar Hemat  
Jujur, sejak mulai ngramban, aku jadi sadar kalau banyak bahan makanan sehat yang selama ini kita remehkan. Dulu aku mikir kalau sayuran itu harus beli di pasar atau supermarket. Sekarang? Tinggal keliling halaman, petik, cuci, masak, beres.  

Selain itu, ngramban juga bikin aku lebih dekat dengan alam. Biasanya, aku cuma keluar rumah buat nyapu teras atau jemur baju. Sekarang? Jalan-jalan keliling halaman tiap pagi sambil mikirin menu makan siang. Sekalian olahraga ringan, lah.  

Yang paling aku suka, anak-anak juga ikut tertarik. Mereka jadi belajar soal tanaman, mana yang bisa dimakan dan mana yang beracun. Daripada mereka sibuk main gadget terus, mending ikut eksplorasi halaman bareng ibunya.  

Tips Ngramban untuk Pemula
Buat yang tertarik nyobain ngramban, aku punya beberapa tips:  

1. Pelajari dulu tanaman yang bisa dimakan. Jangan asal petik dan masukin mulut. Banyak aplikasi sekarang yang bisa bantu identifikasi tanaman liar. Kalau ragu, tanya orang tua atau petani setempat.  
2. Jangan ambil semuanya.Prinsip foraging yang baik adalah mengambil secukupnya, biar ekosistem tetap seimbang.  
3. Cuci bersih sebelum dimasak. Namanya juga tanaman liar, bisa saja kena debu atau kotoran. Jangan sampai hobi sehat malah berujung sakit perut.  
4. Gunakan kreativitas dalam memasak. Banyak tanaman liar bisa diolah jadi makanan enak. Jangan takut bereksperimen!  
5. Jangan lupa izin kalau metik di tanah orang. Serius, ini penting. Jangan sampai hobi sehat berubah jadi drama kampung.  

Makanan Lezat dari Hasil Ngramban
Sejak rutin ngramban, aku udah coba beberapa resep dari tanaman liar yang aku temukan. Salah satunya adalah tumis daun pepaya. Banyak orang nggak suka karena pahit, tapi ada triknya supaya enak: rebus dulu dengan garam dan daun jambu biji, baru ditumis.  

Ada juga pecel daun krokot, yang rasanya mirip pecel biasa tapi lebih gurih dan renyah. Krokot ini sering dianggap gulma, padahal kandungan omega-3-nya tinggi!  

Yang paling favorit di rumah adalah sayur bening pegagan. Rasanya seger, enak, dan bikin badan enteng. Konon, pegagan juga bisa bikin awet muda. Makanya aku rajin makan, siapa tahu nanti dikira masih 25 tahun (ngarep).  

Kesimpulan: Mari Ngramban, Tapi Jangan Barbar!


Setelah beberapa bulan menjalani hobi ngramban, aku merasa ini bukan sekadar kegiatan ngirit, tapi juga cara untuk lebih menghargai alam. Ternyata, banyak makanan bergizi tinggi yang tumbuh di sekitar kita tanpa kita sadari.  

Jadi buat sesama emak-emak, kalau lagi cari hobi baru yang murah, sehat, dan seru, coba deh ngramban. Asal inget, ojo nyolong, ojo nggragas, lan ojo asal makan!

Selamat ngramban, selamat menikmati makanan sehat dari halaman sendiri!


Sebagai ibu-ibu dengan toddler yang aktifnya ngalahin kelinci dikasih baterai baru, saya sudah berdamai dengan kenyataan bahwa waktu memasak itu luxury. Saya nggak bisa lagi santai-santai ngupas bawang satu per satu atau ngaduk sup sambil menikmati aromanya yang meresap. Di dapur, saya harus gercep. Kalau bisa, masakan harus selesai sebelum si kecil sadar saya nggak ada di ruangan dan mulai mencari-cari sambil bawa mobil-mobilannya buat dilempar ke pintu dapur.  



Nah, inilah kenapa saya jatuh cinta sama Miesoa Marga Mulja. Bukan sekadar mie biasa, misua ini adalah solusi buat ibu-ibu yang butuh makanan cepat saji tapi tetap sehat dan mengenyangkan.  

Kenapa Miesoa?


Pertama, Miesoa ini matangnya kilat. Kalau mie instan butuh 3 menit, misua? Cuma 1 menit rebus udah cukup. Bahkan kalau lagi malas banget, cukup disiram air panas dan biarkan sebentar, dia langsung siap dipakai. Ini penting, karena toddler saya punya bakat luar biasa untuk merasa lapar di waktu-waktu yang paling nggak terduga.  

Kedua, teksturnya lembut, tapi nggak gampang hancur. Saya pernah trauma dengan misua lain yang begitu kena air langsung bubar jalan, kayak hati ibu-ibu pas lihat lantai baru dipel tapi tiba-tiba anaknya lari sambil bawa biskuit. Miesoa Marga Mulja ini beda, dia tetap lembut tapi nggak jadi bubur, cocok banget buat makanan anak kecil yang lagi belajar makan sendiri tanpa drama tersedak.  

Miesoa Goreng Sederhana: Resep Andalan Saat Perut Lapar dan Waktu Mepet
Misua goreng ini adalah menu penyelamat saya. Bahan-bahannya sederhana, waktu masaknya nggak sampai 10 menit, dan yang paling penting: anak saya doyan!

Resep Miesoa Goreng Sederhana a'la Emak Toddler
Bahan:
- 1 bungkus Misua Marga Mulja
- 1 butir telur  
- 2 siung bawang putih, cincang  
- 1 batang daun bawang, iris halus  
- 1 sdm kecap manis  
- ½ sdt garam  
- ¼ sdt lada putih  
- Sedikit minyak untuk menggoreng  

Cara membuat:
1. Rebus Miesoa sebentar (cukup 1 menit), lalu tiriskan.  
2. Panaskan minyak, tumis bawang putih sampai harum.  
3. Masukkan telur, orak-arik sebentar.  
4. Masukkan misua, tambahkan kecap manis, garam, dan lada. Aduk rata.  
5. Terakhir, masukkan daun bawang. Aduk sebentar, lalu angkat.  

Tadaa! Dalam waktu kurang dari 10 menit, sepiring Miesoa goreng siap disantap.  

Bukan Cuma Buat Anak, Tapi Juga Emak!
Sebagai ibu, kita sering masak buat anak tapi lupa kalau kita juga butuh makan enak. Nah, Miesoa ini fleksibel banget. Kalau lagi masak buat anak, tinggal bikin versi polosan atau tambahkan ayam cincang biar makin bergizi. Tapi kalau buat diri sendiri? Tinggal tambahin irisan cabai rawit atau sambal terasi, dijamin auto nagih!

Kadang, saya juga suka bikin versi sup Miesoa kalau lagi butuh makanan yang lebih berkuah dan menghangatkan. Tinggal rebus misua dengan kaldu ayam, tambahkan bakso atau ayam suwir, dan dalam waktu singkat, makan siang bergizi sudah siap tanpa bikin dapur jadi medan perang.  

Miesoa Marga Mulja, Teman Setia Emak-Emak Sibuk
Buat ibu-ibu yang sering bingung mau masak apa tapi tetap ingin menyajikan makanan enak, Miesoa Marga Mulja ini wajib ada di dapur. Masaknya super praktis, hasilnya enak, dan bisa dimodifikasi sesuai selera keluarga.  

Dan yang paling penting? Anak makan lahap, emak bahagia!
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

A Travel Enthusiast, Hotel Reviewer, and Food Lovers. Terima kasih sudah berkunjung ke dunia kecil Makvee.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Review YATS Colony Jogja
  • Review Jujur Sate Ratu (Sate Kanak dan Sate Merah)
  • Review Jujur Staycation di The Alana Malioboro Hotel
  • Review Jujur Le Mindoni Cafe
  • Blogging: Mesin Waktu Paling Personal yang Pernah Aku Miliki
  • Pahitnya Hidup yang Ditutupin Pake Selimut Rendah Hati
  • Review Jujur Menginap di Zest Hotel Yogyakarta
  • Dulu Pejuang Garis Dua, Sekarang Pejuang Garis Satu
  • Ngramban: Hobi Emak-Emak Milenial yang Sakti Mandraguna
  • Nyaman dan Nikmatnya Menginap di Business Suite Swiss-Belboutique Yogyakarta

Categories

Travel Kuliner hotel Travelling hotel review Hotel Jogja

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • April 2025 (3)
  • Maret 2025 (13)
  • Mei 2024 (2)
  • April 2024 (1)
  • Maret 2024 (2)
  • Januari 2024 (1)
  • November 2023 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (2)
  • Mei 2023 (2)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juni 2022 (2)
  • April 2022 (31)
  • Maret 2022 (5)
  • Februari 2022 (2)
  • Desember 2021 (1)
  • Juni 2021 (1)
  • Mei 2021 (3)
  • April 2021 (2)
  • Maret 2021 (2)
  • Februari 2021 (4)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (8)
  • November 2020 (3)
  • Oktober 2020 (3)
  • September 2020 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Februari 2020 (7)
  • Januari 2020 (1)
  • Desember 2019 (2)
  • November 2019 (3)
  • Oktober 2019 (2)
  • Agustus 2019 (4)
  • Juli 2019 (5)
  • Juni 2019 (10)
  • Mei 2019 (27)
  • April 2019 (5)
  • Maret 2019 (2)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • Desember 2018 (5)
  • November 2018 (1)
  • Oktober 2018 (2)
  • September 2018 (2)
  • Agustus 2018 (2)
  • Juni 2018 (2)
  • November 2017 (1)
  • Mei 2017 (1)
  • Februari 2017 (2)
  • September 2016 (1)
  • Februari 2016 (1)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (2)
  • Mei 2015 (4)
  • November 2014 (1)
  • Oktober 2014 (1)

Komunitas Blogger Jogja

Komunitas Blogger Jogja

BLogger Perempuan Network

BLogger Perempuan Network

Komunitas Emak Blogger

Komunitas Emak Blogger

Popular

  • Review Jujur Sate Ratu (Sate Kanak dan Sate Merah)
    Yummmmy Senja menyapa perutpun berbunyi, tanda tubuh bahwa saatnya makan. Teringat sate favorit yang berada di area Jogja Paradise. Cu...
  • Review Jujur Le Mindoni Cafe
    Hi Nongkrongers? Apa kabar? Aku harap kalian baik dan sehat ya. Sebagai high quality single, Makvee pasti sangat selow dan woles ka...

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template