Pahitnya Hidup yang Ditutupin Pake Selimut Rendah Hati

Ada satu momen dalam hidup saya yang bikin saya berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, terus mikir, "Oh pantesan." 

Momen itu bukan momen putus cinta, bukan juga momen pas dompet ilang di Alfamart, tapi momen pas saya muji seseorang. Ya, muji doang. Muji. Sesimpel itu. Tapi ujungnya malah bikin saya ngelus dada sambil mikir, “Ya Gusti, hidup ternyata segenting ini buat sebagian orang.”

Jadi begini ceritanya…

Saya ini termasuk orang yang cukup ekspresif kalau ngeliat sesuatu yang menurut saya keren. Bukan karena pengen cari muka, bukan juga karena nggak punya kerjaan. Emang dasarnya saya percaya, kadang satu pujian bisa jadi penyambung nyawa buat orang yang hidupnya lagi remuk redam. Makanya, kalau saya ngeliat temen bikin karya bagus, dandan cantik, atau sekadar ngejawab diskusi dengan pintar, saya nggak pelit buat bilang, “Wah keren banget!” atau “Gila, ini bagus banget sih.”

Nah, suatu hari, saya kasih komentar ke seseorang. Bukan gebetan, bukan juga idola. Orang biasa aja, tapi saya liat dia bikin sesuatu yang menurut saya keren. Maka saya komentar, “Keren banget ini!” titik. Udah, sesimpel itu. Dan bukannya jawab “Terima kasih”, dia malah ngetik: “Apanya yang keren? Dan BLA BLA BLA Ah nggak juga, biasa aja kok. Saya mah bukan siapa-siapa.” dan BLA BLA BLA bahwa yang dia lakukan bulan sekedar keren kemudian bersikap superior dengan memangil saya dek alih-alih memanggil saya nama kayak biasanya. 

Iyahhh, kadang emang gitu ya… orang yang punya kepahitan hidup tuh bisa banget nutupinya dengan sikap "sok humble", tapi dalamnya nyimpen banyak unek-unek dan rasa nggak puas. Pas dikasih pujian malah responnya defensif atau sinis, padahal yang ngomentarin tuh tulus aja, nggak ada niat ngapa-ngapain.

Bisa jadi karena mereka sendiri belum berdamai sama luka atau kurang validasi, jadi susah nerima apresiasi tanpa ngerasa terancam. Tapi tetep aja, saya yang nerima jadi bingung dan malah mikir “wah, kenapa ya?” padahal niat saya  baik.

Oke, saya masih tahan. Saya pikir, mungkin dia humble.

Tapi entah kenapa, satu dua menit kemudian, dia bales komen saya agak panjang, nyerempet ke arah orang-orang yang “sok muji biar keliatan baik”, orang-orang yang “suka membesar-besarkan hal biasa”, dan satu kata yang bikin saya bertanya tanya "Lah? Lah saya salah apa?"

Saya scroll-scroll, dan makin jelas: ternyata di balik caption yang kalem dan tulisan yang bijak, ada laut dalam yang isinya penuh amarah, dendam kecil, dan fragmen-fragmen luka lama. Dan saya, dengan polosnya, dateng bawa pujian. "Salah banget aku, dek?"

Dari situ saya sadar, ada orang-orang yang hidupnya penuh kepahitan tapi menutupi semuanya dengan selimut bernama “rendah hati”. Tapi itu bukan rendah hati yang hangat dan membumi, tapi rendah hati yang kalau disentuh malah nusuk. Yang kelihatannya kalem, tapi isinya kayak lapisan lava di bawah kerak bumi.

Dan yang bikin sedih, kadang orang-orang kayak gini nggak butuh pujian. Bukan karena nggak suka diapresiasi, tapi karena mereka udah nyetel mindset: aku nggak layak dikasih pujian, semua orang yang muji pasti ada maunya. Pahit banget nih orang lebih pahit dari jamu brotowali. Padahal di captionya manggil manggil Tuhan mulu. Hei Tuhan itu penuh Kasih, itu Tuhan yang saya kenal.

Jadi ya sudah. Mulai sekarang, saya belajar. Kalau nemu orang kayak gitu, saya cukup senyum. Mau muji, saya pikir dua kali. Bukan karena saya jadi pelit pujian, tapi karena saya sadar: nggak semua orang siap nerima kebaikan, bahkan yang sesederhana ucapan “keren”.

Karena kadang, yang mereka butuh bukan validasi dari luar. Tapi terapi entah itu meditasi atau ke psikolog. Atau pelukan. Atau minimal, segelas air putih dan keinginan untuk maafin diri sendiri. Dan saya tidak dalam kapasitas itu semua karena sesimple kata "keren" aja ah sudahlah saya ga mau ikut-ikut lagi. Singkat, padat, mute. Kapok berurusan sama orang sulit.

0 comments