Tanggal 22 Juni itu muncul perasaan aneh waktu aku lagi mandi. Ada benjolan kecil di payudara kanan. Tidak sakit. Tapi jelas bukan hal yang biasanya ada di situ. Sebagai manusia yang punya anak tiga dan waktu tidur terbatas, instingku berkata: “Ini nggak bisa di-skip.”
Jadilah aku SADARI (Periksa Payudara Sendiri). Dan tiga hari kemudian SADANIS (Periksa Payudara Klinis) ke Faskes 1. Dokter yang meraba saya laki-laki ketika meraba sebentar mukanya campuran antara panik dan khawatir, lalu langsung mengangkat wajah dan berkata seperti di serial Netflix
“Saya kasih surat rujukan ya. Ini sebaiknya ke dokter bedah onkologi di RSUP.”
Bayanganku tentang "mungkin cuma kelenjar susu lagi aktif" langsung didepak keluar oleh suara tegas dokter. Di titik itu, aku mulai mengaktifkan mode: Tenang tapi panik dalam hati.
Seminggu kemudian, di RSUP. Parabaan ulang, USG, dan kontrol. Awalnya sang dokter bilang, “Kayaknya ini BIRADS 3 ya, masih bisa kita pantau.” Tapi pas hasil USG keluar, ternyata resmi jadi BIRADS 4A.
Apa itu BIRADS 4A?
BIRADS sendiri itu singkatan dari Breast Imaging Reporting and Data System semacam sistem kasta untuk klasifikasi hasil imaging payudara. Kalau BIRADS 1 itu kayak laporan nilai anak TK yang bilang “Semuanya baik dan ceria”, maka BIRADS 4A itu kayak guru bilang:
“Anaknya baik, tapi kami curiga sedikit. Bisa jadi nggak papa, tapi kami perlu panggil orang tua.”
Subkategori BIRADS 4 dibagi tiga:
Kalau dengan bahasa sederhana bisa saya tulis begini
4A: Curiga sedikit (risiko kanker 3–10%)
4B: Curiga sedang (10–50%)
4C: Curiga lumayan banget (risiko kanker tinggi 50–95%)
Jadi, di tengah semua kategori ketidakpastian, BIRADS 4A ini posisinya kayak... dosen killer yang tiba-tiba bilang:
“Nilai kamu 60. Saya kasih kesempatan revisi ya. Tapi saya pantau.”
Lalu apa kata dokter?
“Kami curiga sedikit, tapi belum bisa memastikan. Kita perlu cek jaringannya langsung agar tidak kecolongan.”
Kalimat itu terdengar kalem, tapi di kepala udah muncul kata: biopsi. Bukan karena aku takut jarum atau ruang operasi. Tapi karena kata “cek jaringan” itu bukan kalimat sehari-hari. Itu kata yang biasa muncul di dialog drama Korea yang bertema kedokteran
Jadi gimana rasanya sekarang?
Sebenarnya aku sudah sampai di titik di mana aku nggak lagi mengandalkan tenang palsu. Aku bukan sok kuat. Tapi lebih ke: aku ibu dari tiga anak balita. Kalau aku tumbang, siapa yang pesenin isi ulang galon? Siapa yang suapin anakku dan masakin anakku.
Ada kekuatan aneh yang muncul waktu tahu kamu nggak bisa kontrol hasil, tapi kamu bisa pilih: terus maju atau tenggelam di ketakutan. Aku pilih yang pertama.
Apa yang kupelajari dari benjolan ini?
Bahwa tubuh kita tuh sebenarnya baik banget. Dia kasih sinyal. Dia nggak langsung lempar bom besar, dia kirim pesan pelan-pelan. Dan kadang, kita baru dengerin kalau sudah muncul bentuk nyata kayak benjolan ini.
Maka BIRADS 4A buatku bukan hukuman. Dia adalah kode alam semesta:
“Hey, kamu udah capek. Sekarang giliran kamu periksa dan peduli diri sendiri.”
Aku belajar dari stoikisme:
“Kita tidak bisa memilih peristiwa, tapi kita bisa memilih sikap terhadap peristiwa itu.” Epictetus
Jadi, hari ini aku memilih pasrah yang aktif. Bukan pasrah pasif yang cuma pasrah ke langit tanpa jalan ke rumah sakit. Tapi pasrah versi:
“Tuhan, saya jalanin. Tapi nanti bantuin ya ngasih hasil yang ringan-ringan aja.”
Kalau nanti biopsi bilang ini cuma fibroadenoma atau papiloma jinak Puji Tuhan Sujud Syukur. Kalau amit-amit lain, ya sudah. Berarti ini fase baru. Dan aku akan hadapi. Karena hidup memang bukan soal apa yang terjadi, tapi bagaimana kita terus bernapas dan bergerak... walau gemetar.
Dan kamu tahu? Ternyata aku bisa juga jadi orang yang berani menghadapi ketidakpastian. Tanpa banyak drama. Tapi tetap boleh nangis di kamar mandi.
Buatmu yang juga perempuan...
Jangan anggap remeh tubuhmu. Benjolan kecil bisa jadi pesan besar. Jangan tunda untuk meraba, memeriksa, bertanya, dan bertindak. Jangan nunggu sakit untuk sayang sama tubuh sendiri.
Karena peduli itu bukan soal panik. Tapi soal cinta. Dan semoga cinta itu cukup kuat untuk bikin kita berani periksa, bahkan kalau jawabannya belum tentu menyenangkan.
Ini bukan cerita sedih. Ini cerita sadar. Cerita tentang keberanian yang tumbuh... dari benjolan kecil di hari yang biasa saja.
1 comments
Aku ikut ngerasa deh deg an bacanya mba. 😔. Apapun itu, aku berharap banget, ikut bantu doa, hasilnya bukan yg jelek 🤗🤗🤗. Tapi ya memang gitu. Kita usaha untuk sembuh, hasilnya nanti Tuhan yg menentukan
BalasHapus