Tuhan Tidak Pernah Salah Memilih Pundak


Dar der dor. Begitulah hidup kadang terasa: satu peristiwa belum selesai, yang lain sudah datang mengetuk. 


Juli 2024, aku menjalani operasi Caesar, melahirkan anak kedua kembar pula. Belum genap setahun, 


tepat 1 Agustus 2025, meja operasi kembali menyambutku, kali ini bukan untuk kehidupan baru, melainkan untuk mengambil sesuatu yang tak pernah aku minta hadir: benjolan di payudara.

Di mata dunia, ini berat. Di telinga banyak orang, ini seperti cobaan beruntun. Tapi di hatiku yang pernah sekolah di KANISIUS belajar bersama Santo Ignasius, setiap peristiwa bukan semata kebetulan, melainkan undangan Tuhan untuk semakin dekat dengan-Nya.

Ignasius Loyola pernah mengajarkan, “Carilah Tuhan dalam segala hal.” 

Artinya, dalam kelahiran dan sakit, dalam tawa bayi dan pegal bekas jahitan, dalam rasa takut dan rasa lega semua bisa menjadi jalan menuju Tuhan. Aku belajar bahwa bersyukur bukan hanya untuk hal-hal manis yang kita harapkan, tetapi juga untuk hal-hal pahit yang menguatkan kita.


Operasi Caesar setahun lalu mengajarkanku tentang kerentanan tubuh, tapi juga keajaiban: bahwa dari rasa sakit, lahirlah dua kehidupan baru. 


Operasi payudara tahun ini mengingatkanku bahwa tubuh ini rapuh, namun jiwa bisa tetap tangguh. Dan di sela-sela itu, aku melihat: anak-anakku tumbuh, suamiku mendampingi, keluarga dan sahabat mendoakan. Bukankah itu tanda kasih Tuhan?

Santo Ignasius sering mengajak orang untuk membuat examen doa harian yang menilik hidup. Dalam renungan itu, kita diajak mengingat hari yang lewat, mencari di mana tangan Tuhan bekerja. Mungkin kalau aku memandang kembali perjalananku setahun ini, aku akan menemukan jejak Tuhan di tempat yang tak terduga: dalam ketakutanku di ruang operasi, ada keberanian yang tiba-tiba muncul; dalam sakit pasca sayatan, ada kesabaran yang tumbuh; dalam rasa lelah mengurus bayi, ada tawa kecil yang menghibur.

Maka benar kata orang: Tuhan tidak pernah salah memilih pundak. 

Tapi mungkin lebih tepatnya: Tuhan tahu siapa yang akan bertumbuh justru melalui beban itu. Bukan karena pundakku kuat sejak awal, melainkan karena di setiap langkah, rahmat-Nya menguatkanku.

Pada akhirnya, penerimaan bukanlah pasrah saja, melainkan kesadaran: bahwa hidup ini utuh dengan suka dan dukanya. Dan syukur bukan sekadar ucapan, melainkan sikap hati yang berkata, “Tuhan, Engkau hadir juga di sini. Aku menerima, dan aku percaya.”

Mungkin nanti, bertahun-tahun ke depan, ketika anak-anakku beranjak dewasa, aku akan menceritakan dua operasi ini bukan dengan nada getir, tapi dengan senyum sebagai tanda bahwa aku pernah belajar menerima, dan di situ juga aku menemukan Tuhan yang setia.

0 comments