Hasil Histopatologi Anatomi yang Melegakan sekaligus Menghangatkan Hati



Ada hal-hal yang cuma kita sadari setelah dibanting sama hidup. Salah satunya: Tubuh kita itu ternyata nggak suka dibohongi.

Kamis, 14 Agustus 2025, 3 hari menjelang hari kemerdekaan Negara, jadwal saya kontrol dan menerima hasil raport medis hasil operasi saya tanggal 1 Agustus 2025, di ruang Poli Onkologi RSUP Ben Mboi, nama saya dipanggil. Saya masuk dengan hati setengah gugup, setengah lega. Hasil histopatologi (PA) saya sudah keluar.

Dokter Ferry Andi Christian Purba, Sp.B, Subsp.Onk dokter bedah onkologi yang sejak awal menangani saya membuka map, menatap hasilnya, lalu tersenyum.

“Tuh kan Bu, hasilnya jinak, seperti yang saya bilang kemarin. Tapi yang harus diingat… Ibu ini sensitif hormon.”

Nah lho. Dari ekspresi “senyum lega” saya langsung berubah jadi “mendadak serius”.
Sensitif hormon? Apa lagi ini?

Beliau lalu mulai kuliah kilat.
Fibrocystic changes atau perubahan fibrokistik itu sering dipicu naik-turunnya estrogen dan progesteron. KB hormonal yang ibu gunakan kemarin KB implan, bikin kondisi ini tambah semarak. Bahasa gampangnya estrogen sintetis yang dikeluarkan ke tubuh Ibu pelan-pelan, tapi tubuh ibu menolak, payudara jadi lebih sensitif munculah benjolan

Dan di kasus ibu, pemicunya jelas: KB hormonal implan yang saya pasang 2 bulan sebelumnya.
Bukan salah 100% si KB-nya, tapi tubuh ibu menolak “tamunya” ini. Hormon sintetis yang pelan-pelan dilepas ke tubuh, ternyata bikin payudara ibu makin sensitif. Akhirnya muncullah benjolan.


Karena ini lesi non-proliferatif, risiko kanker tidak bertambah besar seperti pada lesi proliferatif atau atypical hyperplasia. Tapi bukan berarti boleh cuek tetap perlu pemantauan:
Periksa payudara sendiri (SADARI) tiap bulan
USG atau mamografi sesuai saran dokter (biasanya tiap 6–12 bulan kalau ada riwayat benjolan)

Kata beliau
“Bukan berarti melarang total KB hormonal, Bu. Tapi untuk orang yang sensitif hormon seperti ibu, risikonya besar. Benjolan bisa balik, kista bisa muncul lagi,” jelas beliau.

Saran beliau sebagai dokter : Pilih KB non-hormonal, seperti IUD tembaga, kondom.
Saran beliau sebagai sesama manusia : kalau bisa KB Alami saja

KB Hormonal: Tidak Semua Orang Punya “Bakat” untuk Menerimanya

Dokter kemudian menambahkan sesuatu yang bikin saya makin manggut-manggut sambil menahan air mata:
 “Kita bersyukur fungsi ginjal dan hati Ibu masih baik. Banyak pasien saya yang datang dengan benjolan payudara atau kista rahim, awalnya dari KB hormonal. Ada yang sampai fungsi hati dan ginjalnya rusak gara-gara bertahun-tahun pakai KB implan.”

Di titik ini saya ingin bilang ke semua perempuan: tolonglah, jangan cuma percaya “rasa sehat” versi perasaan. Karena kadang tubuh kita diam-diam kerja keras melawan sesuatu yang nggak cocok, tapi kita nggak sadar sampai alarmnya bunyi… dan alarm itu nggak pernah terdengar enak.

Operasi Payudara: Jangan Sampai Kenalan Kalau Nggak Siap Mental

Buat yang bilang, “Aku aman kok KB hormonal, nggak ada keluhan” serius, jangan tunggu sampai harus masuk ruang operasi.

Karena jujur, pengalaman dibedah payudara itu nggak ada manis-manisnya.
Masuk ruang bedah, lampu-lampu terang menyilaukan, udara dingin menusuk, semua orang sibuk menyiapkan alat.
Suami nggak bisa masuk, karena dia harus jaga anak-anak di rumah. Saya cuma bisa rebahan di meja operasi, pasrah.

Lalu datanglah “si mabuk bius total”.
Saya pikir tidur di-bius itu kayak tidur siang, eh ternyata bangun-bangun rasanya kepala melayang, badan lemas, dan ada nyeri yang cuma saya sendiri yang tahu rasanya. Nggak ada yang manis dari itu.

Pelajaran Berharga: Cek Ginjal, Cek Hati, dan Cek Hati Nurani
Kalau kamu sudah terlanjur pakai KB hormonal, tolong cek fungsi ginjal dan hati secara berkala. Jangan tunggu ada keluhan baru heboh.
Karena penyakit ini nggak kirim notifikasi WhatsApp. Dia datang diam-diam, lalu tiba-tiba… BAM! kita sudah di meja operasi.

Saya nggak bilang semua orang harus anti KB hormonal. Tapi kalau mau pakai, pakailah dengan otak, bukan cuma nyali. Karena dulu saya pasang KB implan hanya bermodal nyali, dan efeknya… ya, begini.

Bersyukur, dan Percaya Kekuatan Doa
Di balik semua cerita ini, saya bersyukur.
Bersyukur karena hasilnya jinak.
Bersyukur karena Tuhan kasih kesempatan untuk belajar mendengar tubuh saya sendiri.
Bersyukur karena dirawat di RS tipe B dengan dokter yang sabar, jelas, dan manusiawi. Terima kasih, Dokter Ferry.

Bersyukur juga untuk Tante Vero dan Kaka Stela yang menemani saya selama rawat inap.
Dan… saya percaya, bukan hanya obat dokter yang bekerja.

Doa juga punya peran besar.
Doa Novena Santo Yudas Tadeus, doa kepada Tuhan Yesus, dan doa Bunda Maria yang saya bisikkan setiap malam sebelum tidur, entah kenapa bikin hati saya lebih tenang.
Saya yakin doa-doa itu sampai ke langit.
Bahkan doa dari keluarga, teman, atau orang yang mungkin nggak saya kenal tapi diam-diam menyebut nama saya di doanya itu semua jadi kekuatan.

Doa adalah selimut paling hangat di ruang operasi manapun.
Bahkan ketika infus terasa perih di Vena dan nyeri operasi masih menusuk, saya merasa ada yang memeluk lewat doa.

Buat para perempuan, tolong dengarkan tubuhmu.Kalau ada gejala aneh, jangan cuma bilang “Ah, biasa ini mah.”
Kalau mau pakai KB hormonal, tahu dulu risikonya, dan selalu cek ginjal serta hati.
Dan kalau suatu hari kamu berada di situasi seperti saya, ingatlah: hasil lab itu penting, tapi kekuatan doa itu penyelamat jiwa.

Karena sehat itu bukan cuma soal angka di hasil lab, tapi juga tentang hati yang damai dan iman yang kuat.

0 comments