Makvee Story

Travel Enthusiast, Hotel Reviewer, and Food Lovers

  • Home
  • Travel
  • Kuliner
  • Hotel
  • Lifestyle
  • Contact Us

Kalau kamu pikir semua kurir hanya datang, tekan bel, dan pergi begitu saja, maka kamu belum kenal Kevin. Pria bertubuh ramping dengan kulit legam terbakar matahari ini sudah menjadi kurir JNE Kupang selama lebih dari lima tahun. Tapi di balik helm dan jaket biru merahnya, tersimpan cerita perjuangan yang kalau boleh dibilang lebih panas dari terik kota Kupang di bulan Mei.

Namanya sering terdengar di basecamp JNE di bilangan Oepura. “Itu Kevin, hafal semua rumah dari Oebobo sampai Lasiana!” kata rekannya, bercampur kagum dan sedikit heran. Bagaimana bisa seorang kurir hafal detail rumah sampai gang-gang kecil di kota yang kadang tidak semua jalan punya nama?

Kevin cuma tersenyum. “Kalau sudah jatuh cinta sama kerjaan, semua jadi kebiasaan,” katanya pelan.

SAT SET DI KOTA KARANG
Kupang bukan kota yang gampang buat kurir. Jalan bisa menanjak curam, rumah-rumah tersebar jauh, belum lagi sinyal GPS yang suka iseng hilang pas lagi buru-buru. Tapi Kevin punya prinsip: jangan pernah bikin penerima paket nunggu. Kalau bisa, sebelum ayam berkokok pun dia udah gas motor Supra Fit-nya.

“Saya anggap tiap paket itu penting. Bisa aja isinya obat orang tua, hadiah ulang tahun anak, atau alat praktik mahasiswa. Siapa saya untuk menunda kebahagiaan orang?” ucapnya, sambil merapikan daftar pengiriman.


Semangat Kevin ini memang #MelesatSatSet. Ia bukan cuma mengantarkan paket, tapi juga connecting happiness menghubungkan harapan satu ke lainnya, tanpa banyak drama. Bahkan ia mengaku pernah mengantar paket ke rumah pelanggan yang keluarganya tengah berduka. “Katanya, paket itu pesanan terakhir dari anaknya yang meninggal,” kenang Kevin, suaranya nyaris bergetar.

NGGAK SEKADAR NGANTAR, TAPI JADI TEMAN
Kevin bukan kurir biasa. Ia juga bisa jadi penerjemah hati. Ada ibu-ibu yang minta tolong dibacakan isi paket, bapak-bapak yang curhat tentang kiriman tak kunjung datang, hingga anak-anak kecil yang nunggu Kevin datang cuma buat lihat dia buka box besar penuh barang.

"Orang Kupang tuh hangat. Mereka cepat akrab. Kadang saya dikasih air, diajak duduk, malah ada yang suruh makan siang dulu sebelum lanjut kirim. Itu yang bikin saya betah," ujar Kevin sambil tertawa.

Tak heran kalau pelanggan Kevin hafal betul wajah dan motornya. Bahkan ada yang bilang, “Kalau JNE kirimnya bukan Kevin, rasanya kurang lengkap.”

JNE: LEBIH DARI SEKADAR JASA KIRIM
Dalam ulang tahun ke-34 ini, JNE membawa semangat baru lewat tema “Melesat Sat Set: Inspirasi Tanpa Batas”. Sosok seperti Kevin jadi bukti bahwa JNE bukan sekadar urusan logistik, tapi tentang semangat pelayanan yang sepenuh hati. Dari kantor pusat Jakarta sampai ke sudut kota Kupang, spirit #JNE34Tahun terus mengalir tanpa henti.

Dengan dukungan sistem tracking yang semakin canggih, layanan JTR dan YES yang makin luas jangkauannya, serta SDM seperti Kevin yang bekerja dari hati, JNE membuktikan bahwa connecting happiness bukan sekadar slogan, tapi napas hidup perusahaan ini.

INSPIRASI TANPA BATAS DI JALAN-JALAN KUPANG
Kevin hanyalah satu dari ribuan kurir JNE di seluruh Indonesia. Tapi dari kisahnya, kita belajar bahwa inspirasi tak harus berasal dari hal besar. Kadang, ia datang dari tawa anak kecil yang menerima boneka pesanannya tepat waktu, atau dari seorang ibu yang tersenyum karena obat dari anaknya sampai sebelum malam.

Itulah arti dari melesat sat set., melayani dengan gesit, sigap, dan sepenuh hati.

Terima kasih Kevin. Terima kasih JNE.
Karena di setiap paket, tersimpan harapan. Dan dalam setiap pengantaran, ada cinta yang diam-diam ikut dibonceng.

#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas


Ibuku bukan orang yang suka ngomong bertele-tele. Kalau ada satu kalimat yang sering ia ulang sejak aku masih bau kencur sampai sekarang sudah punya anak sendiri, itu adalah:

“Kalau kamu punya anak, penuhi dulu sandang, pangan, papan. Lain-lain nanti belakangan.”

Buat sebagian orang mungkin itu terdengar terlalu sederhana. Tapi bagi ibu, itu prinsip hidup. Bukan sekadar check list Kebutuhan Dasar Manusia versi buku pelajaran SD. Bagi beliau, ini soal tanggung jawab, soal kesiapan mental, dan yang paling penting, soal kemanusiaan.

Sandang.


Bahasa gampangnya: kasih anak baju yang layak. Yang nyaman dipakai, yang nggak bikin gatal-gatal, dan yang bisa bikin anak lari-lari tanpa kesrimpet. Bukan berarti harus mahal atau branded. Tapi anak juga manusia, bukan figuran sinetron zaman dulu yang bajunya bolong di satu titik sebagai simbol “kemiskinan”. Jangan dikira anak kecil nggak bisa merasa minder. Mereka ngerti kok, mana baju yang sekadar nutup tubuh dan mana yang dikasih dengan penuh perhatian.

Pangan.


Nah ini yang kadang jadi ranjau darat. Ibu pernah bilang, “Kalau kamu bisa beli kuota internet 100 ribu, masa buat beli telur aja nggak bisa?” Makanan bergizi itu bukan soal mahal, tapi soal niat. Niat ngurus anak, bukan sekadar numpangin tumbuh. Apalagi sekarang isu stunting udah kayak hantu keliling Indonesia. Jangan sampai anak kita kekurangan gizi, tapi kita tetap nyantai scroll TikTok sambil makan ciki. Miris.




Dan yang paling bikin ibu geleng-geleng, itu orang tua yang tahu anaknya stunting tapi masih denial. “Anaknya aktif kok, nggak apa-apa,” katanya. Padahal aktif itu bukan indikator tunggal, Bu. Tolong jangan pakai logika: “Anak saya pendek tapi gesit kok.” Gesit bukan ganti rugi gizi.

Papan.

Yang ini juga sering disalahpahami. Bukan berarti harus punya rumah sendiri, atau dinding rumahnya harus pakai wallpaper Korea. Tapi bagaimana menciptakan ruang yang nyaman buat anak tumbuh. Sekecil apapun rumah, kalau suasananya adem, anak bisa tumbuh bahagia. Rumah itu bukan sekadar bangunan, tapi tempat di mana anak merasa paling aman. Paling dicintai. Nggak harus besar, tapi harus hangat.

Sekarang, setelah punya anak sendiri, baru aku ngerti maksud ibu dulu.

Bahwa punya anak itu bukan pencapaian, tapi perjalanan. Dan bukan perjalanan sebentar. Ini long trip seumur hidup, tanpa opsi pulang-pergi. Jadi wajar kalau ibu dulu keras karena dia tahu: yang main-main di awal, biasanya tumbang di tengah jalan.

Jadi buat kamu yang baru mulai atau masih mikir-mikir, ingat baik-baik:
Sandang. Pangan. Papan.
Tiga hal sederhana, yang sering dianggap remeh padahal di situlah letak cinta yang paling nyata.
Sumber Pos-Kupang.com

Ada satu momen kecil yang selalu saya tunggu setiap harinya. Sebuah ritus harian yang entah kenapa membuat jantung saya berdetak sedikit lebih cepat. Ia datang dalam bentuk suara bel yang kadang nyaring, kadang malu-malu. Lalu disusul ketukan ringan di pintu, dan sebuah suara khas yang terdengar seperti sapaan dari teman lama:
“Paaakeeet!”

Biasanya suara itu dibarengi oleh pemandangan yang hampir selalu sama. Seorang pria dengan helm separuh terbuka, jaket merah yang tampaknya sudah bersatu jiwa dengan panasnya aspal dan debu kota, tangan kanan membawa ponsel, tangan kiri menggenggam paket. Ia berdiri di ambang pintu bukan sebagai tamu, tapi sebagai pembawa harapan.
Dan dari sinilah kisah ini dimulai.

SAT SET: Filosofi yang Melekat dalam Laku
SAT SET. Dua kata sederhana yang dalam bahasa Jawa bisa berarti cepat, sigap, dan tak suka bertele-tele. Tapi dalam laku para kurir terutama mereka yang mengusung nama JNE dua kata itu menjelma menjadi filosofi hidup. Ia bukan sekadar slogan kerja. Ia adalah cara mereka hadir: penuh tanggung jawab, tanpa banyak bicara, tapi selalu menyentuh rasa.


Saya percaya bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan hati akan terasa sampai ke ujung. Dan para kurir JNE, dengan segala keterbatasan dan medan yang tak selalu ramah, mengerjakan tanggung jawabnya bukan hanya dengan tenaga, tapi juga dengan rasa.

Mereka tidak sekadar mengantar paket. Mereka mengantar kabar baik. Mengantar rindu. Mengantar permintaan maaf dan “selamat ulang tahun” dari orang yang tak sempat hadir langsung. Dalam setiap paket kecil yang datang ke rumah, ada bagian dari kehidupan manusia yang dipindahkan. Dan JNE ada di antara itu semua.

Di Balik Kecepatan, Ada Nyawa yang Bekerja,
Kita sering kali memuja kecepatan. Kirim hari ini, sampai besok. Tracking real-time. Delivery same day. Tapi jarang sekali kita bertanya, siapa yang berdiri di balik semua itu?

Saya pernah berbicara dengan seorang kurir yang datang ke rumah dalam keadaan basah kuyup. Jaket dan celananya penuh lumpur. Motor bebek tuanya juga terlihat sudah tak sabar pensiun. Saya sempat bilang, “Kak, kenapa nggak nunggu hujan reda dulu?”

Dan dia menjawab sambil senyum, “Nanti ibu nunggu lebih lama, kasihan.”

Jawaban itu, sederhana dan tanpa drama, tapi membuat saya terdiam cukup lama. Ada banyak pekerjaan di dunia ini yang dihargai dengan gelar dan sorotan kamera. Tapi pekerjaan seperti ini? Sunyi. Tapi penuh arti. SAT SET bukan hanya gerakan cepat. Ia adalah wujud dari kepedulian yang diam-diam tapi mendalam.

Pandemi: Saat Dunia Terhenti, Mereka Tetap Bergerak
Kalau boleh jujur, pandemi adalah saat saya semakin memahami arti penting keberadaan para kurir. Saat jalanan sepi, kantor tutup, toko offline menggantungkan harapan pada marketplace, dan manusia menjaga jarak sejauh mungkin para kurir justru hadir lebih dekat dari sebelumnya.

Mereka tak hanya membawa sembako dan obat-obatan. Mereka membawa rasa aman. Dalam tiap langkah dan lintasan, mereka menjembatani ruang yang tak bisa dijangkau oleh pelukan. Dalam sunyinya kota, suara “Paket, Bu!” menjadi penanda bahwa dunia belum benar-benar berhenti.


Saya masih ingat bagaimana kurir JNE datang dua kali ke rumah orang tua saya di Jogja Selatan  a.k.a Bantul Projotamansari, karena mereka sedang ke sawah saat pengantaran pertama. Dan ketika akhirnya berhasil menyerahkan paket, ia sempat bilang ke ibu saya, “Ini dititipin salam juga, Bu.” Bukan cuma barang yang ia sampaikan. Tapi juga rasa.

SAT SET Adalah Human Touch di Era Serba Mesin
Kita hidup di masa ketika semuanya bisa dilakukan lewat aplikasi. Mau makan? Pesan. Mau beli barang? Klik. Mau kirim barang? Isi form, ambil resi, selesai. Tapi di balik dunia digital yang serba otomatis itu, SAT SET hadir sebagai pengingat bahwa pelayanan sejati masih melibatkan hati manusia.

Kurir JNE tidak hanya mengantar barang dan tanda tangan digital. Mereka juga kadang membantu buka pintu pagar, memberi senyum, bahkan menunggu sebentar jika kita belum siap.
Di satu sisi, mereka profesional. Tapi di sisi lain, mereka manusiawi.

Dan itulah yang membuat peran mereka tak tergantikan oleh algoritma.



Mengantar Adalah Perjalanan Emosional
Pernahkah kita berpikir seberapa jauh paket kita berjalan sebelum tiba di depan pintu? Dari gudang ke truk, dari truk ke motor, dari layar sistem ke tangan penerima. Tapi lebih dari itu, ada perjalanan emosional yang menyertainya.

Seorang anak yang rindu ibunya mengirim sepatu, lipstik, dan bedak di hari Ibu.
Seorang ibu mengirim baju lebaran untuk anaknya yang merantau. Seorang sahabat mengirim buku lama yang penuh kenangan. Seorang kekasih mengirimkan kejutan kecil berisi surat tangan dan cokelat. Semua kisah ini, dititipkan pada layanan yang tampak sederhana tapi sebenarnya sakral.

Dan di balik semua itu, ada kurir yang bekerja dalam diam. Ia tidak tahu isi hati pengirim, tapi ia mengantar dengan sepenuh hati seolah tahu betapa pentingnya barang itu sampai tepat waktu.

Tentang Menjaga Rasa di Tengah Kecepatan
Di dunia yang makin cepat, makin sibuk, makin sibuk mengejar efisiensi, kita mungkin lupa bahwa hidup butuh sentuhan. Kita butuh interaksi yang tak sekadar transaksional. Kita butuh rasa yang tak bisa didefinisikan oleh SLA (Service Level Agreement).

Dan JNE, dengan filosofi SAT SET-nya, mengingatkan bahwa pelayanan bukan soal kecepatan semata, tapi soal komitmen. Bahwa menjadi cepat saja tidak cukup. Harus juga tulus. Harus juga ramah. Harus juga hadir. 

#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas

Jadi, jika besok atau lusa kamu dengar lagi suara “Paaakeeet!” di depan rumah, jangan cuma buka pintu. Bukalah hatimu juga. Karena bisa jadi, yang datang bukan hanya barang, tapi juga sepotong kecil harapan yang dikemas dengan rasa.




Sebagai ibu dari tiga anak, satu di antaranya picky eater akut, saya selalu punya wishlist panjang soal makanan: sehat, bergizi, tinggi kalori, dan ini yang paling penting dimakan sama anak, bukan cuma dilirik doang.

Jadi, ketika timeline saya dipenuhi iklan snack anak dengan embel-embel “tinggi kalori untuk anak susah makan”, mata saya langsung kelap-kelip. Namanya Lilmunch. Dengan packaging lucu dan tagline yang menjanjikan, saya yang udah desperate cari cara menaikkan berat badan si bocah langsung klik “beli sekarang” tanpa pikir dua kali.

Dan begitulah, saya terjerumus dalam jebakan snack sehat premium.

Harapan: Naik BB dengan Cara Modern
Realita: Dompet Kering Sebelum Timbangan Bergerak


Saya tuh nggak muluk-muluk. Nggak pengin anak jadi gempal kayak marshmallow. Cuma pengin berat badannya masuk KMS Posyandu dan nggak bikin bu bidan geleng-geleng pas penimbangan bulanan. Jadi, snack tinggi kalori itu terdengar seperti solusi manis nan modern nggak perlu masak, tinggal kasih ngemil. Simpel, kan?

Sayangnya, begitu Lilmunch sampai, ekspektasi saya langsung turun drastis. Ukurannya kecil banget, bahkan saya sempat cek dua kali: ini snack bayi atau tester skincare?

Satu kemasan kecil itu ludes dalam 3 menit. Bahkan anak saya yang biasanya makan segede upil pun bisa habis dalam waktu secepat ia menolak sayur. Dan dalam hati saya mulai berkalkulasi: Kalau sehari makan tiga bungkus, sebulan saya bisa beli kulkas baru.

Soal Rasa? Aman. Tapi Berat Badan Tetap Segitu-Gitu Aja
Saya coba cicipin juga, sebagai ibu milenial yang nggak asal kasih anak makan tanpa uji rasa. Dan jujur, memang enak. Teksturnya lembut, rasanya gurih manis pas. Anak saya pun doyan, dia mangap setiap saya sodorkan.

Tapi kalau ditanya efeknya terhadap pertambahan berat badan? Ya... zonk. Satu dua bungkus tentu nggak ngangkat. Harus rutin, bahkan bisa sampai sehari 2-3 kali biar ada dampak. Dan kalau dihitung, biaya hariannya bisa nyusul cicilan motor.

Saya jadi mikir: daripada beli snack kecil mahal gini, mending saya belanja ayam, telur, dan bikin chicken katsu sendiri. Bisa sekalian buat makan si adek dan bapaknya. Ekonomis dan semua kenyang.

Lilmunch: Cocok Buat Sultan, Kurang Cocok Buat Kaum Emak Mendang-Mending

Saya tidak bilang Lilmunch jelek. Untuk yang dananya longgar dan anaknya suka ngemil, silakan lanjut. Ini bisa jadi alternatif cemilan sehat yang praktis. Tapi untuk saya, yang harus mikir dua kali antara beli snack atau beli gas 3 kilo, rasanya nggak worth it.

Lebih baik saya pakai uang segitu buat masak sup ayam, telur dadar keju, atau bikin bubur daging. Selain lebih banyak porsinya, gizinya pun jelas dan bisa saya kontrol.

Jadi, Beli Lagi? Nggak, Terima Kasih. Saya Masak Sendiri Aja
Akhir kata, saya cuma mau bilang: tidak semua yang viral di TikTok atau Instagram cocok untuk semua ibu. Kadang yang kita butuhkan bukan snack mahal berlabel “tinggi kalori,” tapi waktu, niat, dan sedikit kreativitas di dapur.

Mau anak makan banyak? Mungkin bisa mulai dari makan bareng, menu yang beragam, dan suasana yang menyenangkan. Bonusnya: dapur ngebul, hati senang, dan dompet tetap bernapas.

Lilmunch? Terima kasih sudah pernah mampir di rumah kami. Tapi untuk sekarang, biar saya lanjut goreng ayam dulu, yang kriuknya lebih renyah dari saldo dompet setelah belanja snack viral.



Sumber: Instagram Luna Maya

Saya bukan siapa-siapa. Bukan artis, bukan selebgram, bukan aktivis perempuan dengan ribuan pengikut. Saya cuma ibu rumah tangga, anak tiga, yang hidupnya sekarang berkisar antara minyak goreng, PR anak SD, dan mencari tahu kenapa kulkas tiba-tiba bunyinya kayak suara kereta api.

Tapi beberapa hari terakhir, saya tergerak. Bukan karena diskonan bulanan di minimarket (meskipun itu juga menggairahkan), melainkan karena Luna Maya dan Maxime Bouttier akhirnya Menikah sah sebagai pasangan seumur hidup. Biasa aja sih, ya. Artis menikah. Tapi entah kenapa, hati saya bergetar. Mungkin karena saya merasa, kisah mereka bukan cuma tentang cinta dua orang yang cantik dan ganteng. Tapi tentang keadilan yang akhirnya mampir ke perempuan yang selama ini dibantai habis-habisan oleh masyarakat.


Karena jujur aja, saya tumbuh di era di mana nama Luna Maya lebih sering jadi bahan hinaan ketimbang pujian. Dianggap murahan, rusak, nggak pantas, dan semua label-label lain yang biasanya cuma dilempar ke perempuan. Laki-lakinya? Bebas melenggang. Masyarakat kita memang spesialis mengadili perempuan tanpa pengacara. Semua orang bisa jadi hakim, bahkan tukang parkir depan indomaret pun merasa berhak komentar soal moralitas perempuan yang tak dikenalnya.

Saya sampai mikir, perempuan itu kalau salah dikit bisa dihukum seumur hidup. Tapi kalau laki-laki salah? Paling banter dibilang "namanya juga cowok".

Kami Semua Pernah Jadi Luna Maya, Dalam Versi Kami Sendiri
Nggak semua perempuan masuk dunia hiburan atau disorot kamera. Tapi rasa dikucilkan, disalahkan, dan dilabeli “perempuan nakal” itu, rasanya familiar banget. Teman saya pernah dicibir habis-habisan cuma karena dia single mom. Ada tetangga yang bilang, “Itu mah pasti nggak bisa jaga diri.” Lah? Situ liat dia tiap hari kerja banting tulang buat anak, tapi yang diliat justru status “janda”-nya.

Saya juga pernah. Dulu waktu masih kerja kantoran dan anak saya baru satu, ada yang nyeletuk, “Wah, kayaknya karier terus ya, anak dititipin ibunya terus tuh.” Saya pengin jawab, “Iya, Bu. Kalau saya nggak kerja, bayar cicilan dari mana?” Tapi saya tahan. Karena cap perempuan ambisius, apalagi yang berani balas omongan, lebih tajam dari cicak-cicak gosip di dinding.

Makanya, kisah Luna Maya ini rasanya kayak oase. Bukan karena dia akhirnya punya pasangan, tapi karena dia bisa membuktikan bahwa perempuan bisa berdiri lagi meskipun pernah dibikin jatuh sedalam-dalamnya. Dan Maxime si manis green flag ini ternyata bukan cuma cakep, tapi juga cukup woke buat mencintai perempuan yang pernah dihukum oleh masyarakat, tanpa ikut-ikutan menghakimi.

Kenapa Kita, Perempuan, Sering Jadi Musuh Satu Sama Lain?
Ini pertanyaan yang menghantui saya tiap abis lihat kolom komentar gosip. Kok ya, yang paling ganas kadang justru sesama perempuan? Yang ngehina Luna Maya, yang komentar baju siapa terlalu terbuka, atau gaya asuh siapa salah, sering kali datang dari perempuan juga.

Padahal harusnya kita ini saling menguatkan. Dunia udah cukup kejam buat perempuan: dari gaji yang lebih kecil, standar kecantikan yang gila, sampe komentar soal rahim kita pun masih diperdebatkan banyak orang. Masa iya, kita masih sempat-sempatnya saling gontok?

Kalau kita lihat perempuan lain bangkit dari keterpurukan, kenapa nggak kita dukung? Kalau ada perempuan yang bahagia, kenapa nggak kita ikut senang? Kan katanya, perempuan itu ibu dari peradaban. Masa iya, peradaban isinya cuma nyinyir dan saling jatuhin?

Membangun Solidaritas, Dari Dapur Sampai Dunia Digital
Saya percaya, perubahan bisa dimulai dari hal kecil. Dari dapur. Dari grup WhatsApp arisan. Dari komentar di media sosial. Jangan buru-buru nge-judge pilihan hidup orang lain. Nggak semua orang mau jadi ibu rumah tangga, dan itu nggak apa-apa. Nggak semua orang bisa punya anak, dan itu juga nggak salah. Nggak semua orang bisa sembuh dari luka dengan cara yang sama, tapi yang penting kita saling pegang tangan.

Jadi, untuk Luna Maya: selamat ya. Kamu nggak cuma cantik, tapi kuat. Kamu mewakili banyak perempuan yang pernah dilukai tapi tetap memilih untuk tidak pahit.

Dan untuk Maxime, makasih sudah jadi contoh bahwa laki-laki bisa kok mencintai tanpa syarat. Semoga makin banyak Maxime lain di dunia ini yang nggak minder pacaran sama perempuan pintar, berdaya, dan pernah jatuh bangun.

Dari saya, ibu tiga anak yang tiap malam ketiduran sebelum sempat me time, tapi masih punya harapan bahwa dunia ini suatu hari akan lebih ramah pada perempuan. Atau setidaknya: kita, para perempuannya, mau saling rangkul, bukan saling injak.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

A Travel Enthusiast, Hotel Reviewer, and Food Lovers. Terima kasih sudah berkunjung ke dunia kecil Makvee.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Review Jujur Sate Ratu (Sate Kanak dan Sate Merah)
  • Review Jujur Le Mindoni Cafe
  • Review YATS Colony Jogja
  • Review Jujur Staycation di The Alana Malioboro Hotel
  • Blogging: Mesin Waktu Paling Personal yang Pernah Aku Miliki
  • Sandang, Pangan, Papan: Tiga Serangkai Wasiat Ibu
  • SAT SET BERSAMA KEVIN: CERITA PERJUANGAN SEORANG KURIR JNE DI UJUNG TIMUR INDONESIA
  • Ceradan dan Drama Kulit Keringku: Review Ibu Tiga Anak yang Kulitnya Nggak Bisa Diajak Kompromi
  • Review Lilmunch: Enak, Tapi Dompet Meringis
  • Luna Maya, Maxime, dan Harapan Kami: Catatan dari Ibu Tiga Anak yang Sudah Lelah Jadi Tumbal Patriarki

Categories

Travel Kuliner hotel Travelling hotel review Hotel Jogja

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • Juni 2025 (1)
  • Mei 2025 (5)
  • April 2025 (3)
  • Maret 2025 (13)
  • Mei 2024 (2)
  • April 2024 (1)
  • Maret 2024 (2)
  • Januari 2024 (1)
  • November 2023 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (2)
  • Mei 2023 (2)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juni 2022 (2)
  • April 2022 (31)
  • Maret 2022 (5)
  • Februari 2022 (2)
  • Desember 2021 (1)
  • Juni 2021 (1)
  • Mei 2021 (3)
  • April 2021 (2)
  • Maret 2021 (2)
  • Februari 2021 (4)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (8)
  • November 2020 (3)
  • Oktober 2020 (3)
  • September 2020 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Februari 2020 (7)
  • Januari 2020 (1)
  • Desember 2019 (2)
  • November 2019 (3)
  • Oktober 2019 (2)
  • Agustus 2019 (4)
  • Juli 2019 (5)
  • Juni 2019 (10)
  • Mei 2019 (27)
  • April 2019 (5)
  • Maret 2019 (2)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • Desember 2018 (5)
  • November 2018 (1)
  • Oktober 2018 (2)
  • September 2018 (2)
  • Agustus 2018 (2)
  • Juni 2018 (2)
  • November 2017 (1)
  • Mei 2017 (1)
  • Februari 2017 (2)
  • September 2016 (1)
  • Februari 2016 (1)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (2)
  • Mei 2015 (4)
  • November 2014 (1)
  • Oktober 2014 (1)

Komunitas Blogger Jogja

Komunitas Blogger Jogja

BLogger Perempuan Network

BLogger Perempuan Network

Komunitas Emak Blogger

Komunitas Emak Blogger

Popular

  • Review Jujur Sate Ratu (Sate Kanak dan Sate Merah)
    Yummmmy Senja menyapa perutpun berbunyi, tanda tubuh bahwa saatnya makan. Teringat sate favorit yang berada di area Jogja Paradise. Cu...
  • Review Jujur Le Mindoni Cafe
    Hi Nongkrongers? Apa kabar? Aku harap kalian baik dan sehat ya. Sebagai high quality single, Makvee pasti sangat selow dan woles ka...

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template