Buta Jakarta

"Buta Jakarta, Catatan 09 Juni 2014"

Ketika kaki-kaki menapaki jalanan berdebu ibukota, satu persatu menjelma robot berbentuk manusia berjalan dengan tempo cepat menuju arah masing-masing
Tak ada tegur sapa
Tak ada keramahan
Semua sibuk dengan gadget
Dan urusan masing-masing
Sosialis seperti saya rasanya ingin teriak
Ketika melihat batas-batas yang semakin tinggi
Ketika rumah-rumah berpagar tinggi tak sembarang orang bisa datang dan bertamu
Ketika hubungan manusia dan manusia hanya sebatas hubungan kerja
Tak ada akrab
Tak ada tawa
Sepi dan sunyi

Lewat kaca Kopaja melihat pembangunan mall baru, di depannya pemukiman kumuh di pinggir kali tak tertata, rumah-rumah miring tempat manusia-manusia lain yang tak seberuntung manusia-manusia setengah robot dengan rumah berpagar tinggi, mereka hanya menunggu kapan akan digusur...

Saya persembahkan puisi Wiji tukul ini untuk mereka manusia-manusia rumah miring

di sini terbaring
mbok Cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya
di sini terbaring
pak Pin
yang mati terkejut
karena rumahnya tergusur
di tanah ini
terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap Pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji
di sini
kubaca kembali
: sejarah kita belum berubah!
(Wiji tukul-Kuburan Purwoloyo ditulis di
solo, 25 oktober 88)

0 comments