Makvee Story

Travel Enthusiast, Hotel Reviewer, and Food Lovers

  • Home
  • Travel
  • Kuliner
  • Hotel
  • Lifestyle
  • Contact Us

Biasanya kalau saya bikin review, topiknya hotel. Tapi kali ini berbeda: saya mau cerita tentang pengalaman rawat inap di RSUP Dr. Ben Mboi Kupang. Lucunya, bukannya terasa seperti opname, kamar yang saya tempati justru berasa kayak staycation singkat.


Nah ini dia nih penampakan kamar yang saya tempati ini 1 kamar diisi 4 orang. Tapi pas saya sampai saya sendiri yang menempati kamar itu jadi berasa private yhekan. Intinya bersyukur dalam segala hal walaupun memang saya dapat kamar paling pojok. Tapi gpp jauh dari keriuhan kamar-kamar yang lain.


Saya masuk rumah sakit tanggal 31 Juli 2025 dan pulang tanggal 2 Agustus 2025, pasca menjalani operasi di payudara. 


Dapat kamar 318 Lantai 3 Bougenville. Jujur saja, awalnya saya tidak punya ekspektasi apa-apa. Apalagi BPJS saya sekarang sudah turun kelas ke type 3 (sebelumnya type 1). Alasannya sederhana: setelah punya tiga anak, tentu pengeluaran rumah tangga bertambah besar, jadi saya realistis menyesuaikan iuran BPJS.

Baca Juga BIRADS 4A: Antara Panik, Pasrah, dan Pura-Pura Tenang

Tapi ternyata, yang saya temukan benar-benar di luar dugaan.

A. Kamar yang Bersih dan Rapi


Hal pertama yang bikin saya kaget adalah kebersihan kamar. Dari lantai, tempat tidur, hingga kamar mandi semuanya terjaga rapi. Tidak ada bau aneh khas rumah sakit yang biasanya bikin tidak nyaman. Bahkan, kamarnya terang dan sirkulasi udaranya bagus, jadi tidak terasa pengap.

B. Fasilitas yang Nyaman


1. Tempat tidur pasien sudah standar rumah sakit modern, bisa diatur posisi naik-turun sesuai kebutuhan. Sangat membantu pasca operasi.


2. Sofa bed untuk penunggu pasien, ini poin plus besar. Penunggu tidak perlu duduk semalaman di kursi keras, tapi bisa ikut rebahan dengan nyaman.


3. AC dingin dan berfungsi dengan baik, jadi suasana kamar tetap sejuk walaupun di Kupang siang hari panasnya luar biasa.


4. Kamar mandi dalam ukurannya cukup luas, bersih, dan ada shower yang berfungsi normal.
 

Buat saya, ini melebihi ekspektasi, karena biasanya kamar mandi kelas 3 di rumah sakit lain jauh dari kata nyaman.


5. View kamar juga enak dipandang. Rasanya lebih segar melihat pemandangan luar ketimbang hanya menatap tembok.

Baca Juga Pengalaman Eksisi Biopsi: Ternyata Nggak Seseram Itu, Hanya Mabuk Bius

C. Perawatan Pasien yang Sama Rata
Satu hal penting yang saya rasakan adalah perlakuan kepada pasien sama saja, tidak dibeda-bedakan berdasarkan kelas. Poin plusnya juga makanannya menurut saya enak. 


Sekarang memang sistem BPJS sudah berubah: tidak ada lagi pembagian kelas 1, 2, atau 3. Semuanya digabung menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Jadi walaupun di kartu saya tertulis type 3, kenyataannya fasilitas yang saya terima sama dengan pasien lain.

Ke depan, memang akan ada penyesuaian iuran BPJS dengan tarif baru, sesuai dengan pemerataan kelas ini. Tapi setidaknya pasien bisa merasa lebih tenang, karena pelayanan dan fasilitas tidak lagi ditentukan oleh kelas iuran.

Rasanya Lebih Mirip Staycation
Kalau ditanya bagaimana pengalaman rawat inap di RS Ben Mboi, jawabannya: lebih mirip staycation singkat. Ada AC, kamar mandi bersih dengan shower, sofa bed, view bagus, dan suasana kamar yang tidak kalah dengan hotel bintang tiga.

Tentu saja opname bukanlah liburan, karena tubuh sedang sakit dan butuh perawatan. Tapi suasana kamar yang nyaman membuat proses pemulihan jadi lebih ringan. Saya bisa istirahat tenang, keluarga yang menemani juga bisa lebih rileks.

Pengalaman saya di kamar 318 RS Ben Mboi benar-benar positif. Dari sisi fasilitas, kebersihan, hingga pelayanan, semuanya jauh melebihi ekspektasi saya untuk kamar yang dulunya disebut “kelas 3”.

Perubahan sistem BPJS yang menyamaratakan kelas membuat semua pasien diperlakukan setara. Jadi, tidak ada lagi kekhawatiran soal perbedaan pelayanan.

Kalau biasanya saya mereview hotel, kali ini saya bisa bilang: rawat inap di RS Ben Mboi Kupang, khususnya di kamar 318, rasanya nyaman sekali bahkan seperti staycation di hotel.


Dar der dor. Begitulah hidup kadang terasa: satu peristiwa belum selesai, yang lain sudah datang mengetuk. 


Juli 2024, aku menjalani operasi Caesar, melahirkan anak kedua kembar pula. Belum genap setahun, 


tepat 1 Agustus 2025, meja operasi kembali menyambutku, kali ini bukan untuk kehidupan baru, melainkan untuk mengambil sesuatu yang tak pernah aku minta hadir: benjolan di payudara.

Di mata dunia, ini berat. Di telinga banyak orang, ini seperti cobaan beruntun. Tapi di hatiku yang pernah sekolah di KANISIUS belajar bersama Santo Ignasius, setiap peristiwa bukan semata kebetulan, melainkan undangan Tuhan untuk semakin dekat dengan-Nya.

Ignasius Loyola pernah mengajarkan, “Carilah Tuhan dalam segala hal.” 

Artinya, dalam kelahiran dan sakit, dalam tawa bayi dan pegal bekas jahitan, dalam rasa takut dan rasa lega semua bisa menjadi jalan menuju Tuhan. Aku belajar bahwa bersyukur bukan hanya untuk hal-hal manis yang kita harapkan, tetapi juga untuk hal-hal pahit yang menguatkan kita.


Operasi Caesar setahun lalu mengajarkanku tentang kerentanan tubuh, tapi juga keajaiban: bahwa dari rasa sakit, lahirlah dua kehidupan baru. 


Operasi payudara tahun ini mengingatkanku bahwa tubuh ini rapuh, namun jiwa bisa tetap tangguh. Dan di sela-sela itu, aku melihat: anak-anakku tumbuh, suamiku mendampingi, keluarga dan sahabat mendoakan. Bukankah itu tanda kasih Tuhan?

Santo Ignasius sering mengajak orang untuk membuat examen doa harian yang menilik hidup. Dalam renungan itu, kita diajak mengingat hari yang lewat, mencari di mana tangan Tuhan bekerja. Mungkin kalau aku memandang kembali perjalananku setahun ini, aku akan menemukan jejak Tuhan di tempat yang tak terduga: dalam ketakutanku di ruang operasi, ada keberanian yang tiba-tiba muncul; dalam sakit pasca sayatan, ada kesabaran yang tumbuh; dalam rasa lelah mengurus bayi, ada tawa kecil yang menghibur.

Maka benar kata orang: Tuhan tidak pernah salah memilih pundak. 

Tapi mungkin lebih tepatnya: Tuhan tahu siapa yang akan bertumbuh justru melalui beban itu. Bukan karena pundakku kuat sejak awal, melainkan karena di setiap langkah, rahmat-Nya menguatkanku.

Pada akhirnya, penerimaan bukanlah pasrah saja, melainkan kesadaran: bahwa hidup ini utuh dengan suka dan dukanya. Dan syukur bukan sekadar ucapan, melainkan sikap hati yang berkata, “Tuhan, Engkau hadir juga di sini. Aku menerima, dan aku percaya.”

Mungkin nanti, bertahun-tahun ke depan, ketika anak-anakku beranjak dewasa, aku akan menceritakan dua operasi ini bukan dengan nada getir, tapi dengan senyum sebagai tanda bahwa aku pernah belajar menerima, dan di situ juga aku menemukan Tuhan yang setia.



Ada hal-hal yang cuma kita sadari setelah dibanting sama hidup. Salah satunya: Tubuh kita itu ternyata nggak suka dibohongi.

Kamis, 14 Agustus 2025, 3 hari menjelang hari kemerdekaan Negara, jadwal saya kontrol dan menerima hasil raport medis hasil operasi saya tanggal 1 Agustus 2025, di ruang Poli Onkologi RSUP Ben Mboi, nama saya dipanggil. Saya masuk dengan hati setengah gugup, setengah lega. Hasil histopatologi (PA) saya sudah keluar.

Dokter Ferry Andi Christian Purba, Sp.B, Subsp.Onk dokter bedah onkologi yang sejak awal menangani saya membuka map, menatap hasilnya, lalu tersenyum.

“Tuh kan Bu, hasilnya jinak, seperti yang saya bilang kemarin. Tapi yang harus diingat… Ibu ini sensitif hormon.”

Nah lho. Dari ekspresi “senyum lega” saya langsung berubah jadi “mendadak serius”.
Sensitif hormon? Apa lagi ini?

Beliau lalu mulai kuliah kilat.
Fibrocystic changes atau perubahan fibrokistik itu sering dipicu naik-turunnya estrogen dan progesteron. KB hormonal yang ibu gunakan kemarin KB implan, bikin kondisi ini tambah semarak. Bahasa gampangnya estrogen sintetis yang dikeluarkan ke tubuh Ibu pelan-pelan, tapi tubuh ibu menolak, payudara jadi lebih sensitif munculah benjolan

Baca Juga Saya Nggak Anti KB, Tapi Ini Alasan Saya Kapok Pakai KB Hormonal

Dan di kasus ibu, pemicunya jelas: KB hormonal implan yang saya pasang 2 bulan sebelumnya.
Bukan salah 100% si KB-nya, tapi tubuh ibu menolak “tamunya” ini. Hormon sintetis yang pelan-pelan dilepas ke tubuh, ternyata bikin payudara ibu makin sensitif. Akhirnya muncullah benjolan.


Karena ini lesi non-proliferatif, risiko kanker tidak bertambah besar seperti pada lesi proliferatif atau atypical hyperplasia. Tapi bukan berarti boleh cuek tetap perlu pemantauan:
Periksa payudara sendiri (SADARI) tiap bulan
USG atau mamografi sesuai saran dokter (biasanya tiap 6–12 bulan kalau ada riwayat benjolan)

Kata beliau
“Bukan berarti melarang total KB hormonal, Bu. Tapi untuk orang yang sensitif hormon seperti ibu, risikonya besar. Benjolan bisa balik, kista bisa muncul lagi,” jelas beliau.

Saran beliau sebagai dokter : Pilih KB non-hormonal, seperti IUD tembaga, kondom.
Saran beliau sebagai sesama manusia : kalau bisa KB Alami saja

KB Hormonal: Tidak Semua Orang Punya “Bakat” untuk Menerimanya


Dokter kemudian menambahkan sesuatu yang bikin saya makin manggut-manggut sambil menahan air mata:
 “Kita bersyukur fungsi ginjal dan hati Ibu masih baik. Banyak pasien saya yang datang dengan benjolan payudara atau kista rahim, awalnya dari KB hormonal. Ada yang sampai fungsi hati dan ginjalnya rusak gara-gara bertahun-tahun pakai KB implan.”

Baca juga Dari KB ke Benjolan: Kisah yang Ternyata ‘Hormonal’

Di titik ini saya ingin bilang ke semua perempuan: tolonglah, jangan cuma percaya “rasa sehat” versi perasaan. Karena kadang tubuh kita diam-diam kerja keras melawan sesuatu yang nggak cocok, tapi kita nggak sadar sampai alarmnya bunyi… dan alarm itu nggak pernah terdengar enak.

Operasi Payudara: Jangan Sampai Kenalan Kalau Nggak Siap Mental

Buat yang bilang, “Aku aman kok KB hormonal, nggak ada keluhan” serius, jangan tunggu sampai harus masuk ruang operasi.

Karena jujur, pengalaman dibedah payudara itu nggak ada manis-manisnya.
Masuk ruang bedah, lampu-lampu terang menyilaukan, udara dingin menusuk, semua orang sibuk menyiapkan alat.
Suami nggak bisa masuk, karena dia harus jaga anak-anak di rumah. Saya cuma bisa rebahan di meja operasi, pasrah.

Lalu datanglah “si mabuk bius total”.
Saya pikir tidur di-bius itu kayak tidur siang, eh ternyata bangun-bangun rasanya kepala melayang, badan lemas, dan ada nyeri yang cuma saya sendiri yang tahu rasanya. Nggak ada yang manis dari itu.

Pelajaran Berharga: Cek Ginjal, Cek Hati, dan Cek Hati Nurani
Kalau kamu sudah terlanjur pakai KB hormonal, tolong cek fungsi ginjal dan hati secara berkala. Jangan tunggu ada keluhan baru heboh.
Karena penyakit ini nggak kirim notifikasi WhatsApp. Dia datang diam-diam, lalu tiba-tiba… BAM! kita sudah di meja operasi.

Saya nggak bilang semua orang harus anti KB hormonal. Tapi kalau mau pakai, pakailah dengan otak, bukan cuma nyali. Karena dulu saya pasang KB implan hanya bermodal nyali, dan efeknya… ya, begini.

Bersyukur, dan Percaya Kekuatan Doa
Di balik semua cerita ini, saya bersyukur.
Bersyukur karena hasilnya jinak.
Bersyukur karena Tuhan kasih kesempatan untuk belajar mendengar tubuh saya sendiri.
Bersyukur karena dirawat di RS tipe B dengan dokter yang sabar, jelas, dan manusiawi. Terima kasih, Dokter Ferry.

Bersyukur juga untuk Tante Vero dan Kaka Stela yang menemani saya selama rawat inap.
Dan… saya percaya, bukan hanya obat dokter yang bekerja.

Doa juga punya peran besar.
Doa Novena Santo Yudas Tadeus, doa kepada Tuhan Yesus, dan doa Bunda Maria yang saya bisikkan setiap malam sebelum tidur, entah kenapa bikin hati saya lebih tenang.
Saya yakin doa-doa itu sampai ke langit.
Bahkan doa dari keluarga, teman, atau orang yang mungkin nggak saya kenal tapi diam-diam menyebut nama saya di doanya itu semua jadi kekuatan.

Doa adalah selimut paling hangat di ruang operasi manapun.
Bahkan ketika infus terasa perih di Vena dan nyeri operasi masih menusuk, saya merasa ada yang memeluk lewat doa.

Buat para perempuan, tolong dengarkan tubuhmu.Kalau ada gejala aneh, jangan cuma bilang “Ah, biasa ini mah.”
Kalau mau pakai KB hormonal, tahu dulu risikonya, dan selalu cek ginjal serta hati.
Dan kalau suatu hari kamu berada di situasi seperti saya, ingatlah: hasil lab itu penting, tapi kekuatan doa itu penyelamat jiwa.

Karena sehat itu bukan cuma soal angka di hasil lab, tapi juga tentang hati yang damai dan iman yang kuat.

Disclaimer! Ini Bukan Nakut-Nakutin, Sumpah!
Tulisan ini bukan buat nakutin.
Tulisan ini bukan untuk melarang KB (siapa saya melarang-larang 😂).
Tulisan ini juga bukan bentuk penolakan program BKKBN.
Ini murni cerita pribadi saya yang kalau diceritain sambil ngopi, mungkin bikin kamu mikir, “Lho kok bisa gitu?”

Hallah, Mbak… kamu itu ribet banget sih. Kalau nggak mau KB ya terserah, tapi nggak usah nakut-nakutin orang!

Nah, ini nih… padahal sumpah, bukan nakut-nakutin.
Kalau niatnya nakut-nakutin, saya udah bikin judul clickbait macam “KB Hormonal, Jalan Pintas Menuju Kamar Operasi” tapi kan nggak. Justru saya cerita supaya perempuan lebih AWARE. Lebih melek sama tubuhnya sendiri. Dan ya… biar nggak ngalamin drama yang sama kayak saya: payudara dibedah. Emang mau?


Awalnya Saya Santai Saja…
Jadi ceritanya, saya ditawarin pakai KB Implan.
Buat yang belum tahu, KB Implan itu salah satu jenis KB hormonal. Praktis, nggak perlu minum pil tiap hari atau suntik every 3 bulanan. Tapi efeknya… ya, kata dokter, jangka panjang. Dan ternyata, spoiler alert, nggak semua tubuh perempuan bisa cocok sama yang satu ini.

Baru sadar setelah ngobrol panjang sama Dokter Onkologi dan Dokter Radiologi, yang akhirnya bikin aku mikir:
“Mau dibius aja kita ditanya dulu alergi obat atau enggak. Mau disuntik antibiotik aja ditanya dulu riwayat kesehatan.
Masa mau masukin benda sintetis ke dalam tubuh selama 3 tahun, ya langsung sikat gitu aja tanpa tes apapun?”
JLEBBBBBB
Waktu itu rasanya pengen mukul jidat sendiri. Sambil bilang GOBLOK GOBLOK GOBLOK 🤮🤮


Ternyata, Sebelum Pasang KB Hormonal Itu Harus Tes, Ibu! tes hellowwww
Dan ya, aku baru tahu setelah kena batunya benjolan di payudara, pendarahan nggak normal, dan akhirnya harus operasi eksisi biopsi.

Sebenarnya, sebelum pasang KB Implan (atau KB hormonal lainnya), Dokter SpOG yang kompeten pasti akan menyarankan beberapa pemeriksaan dulu. Bukan karena LEBAY.

Kasus benjolan di payudara yang saya alami memang nggak bisa dibilang 100% gara-gara KB Implan. Tapi pas saya ngobrol sama dokter, beliau bilang, “Ya bisa jadi, Mbak. Apalagi kalau hormon nggak cocok, payudara jadi lebih sensitif.”

Bahkan obrolan panjang sama dokter radiologi bapak-bapak, punya anak satu yang dengan tegas melarang istrinya pakai KB hormonal. Alasannya? Beliau sudah lihat terlalu banyak kasus kayak saya. Ada yang kena di payudara, ada yang masalah di ginjal, ada yang hati-nya ngambek.

Kata Dokter:
Walaupun saya bukan Dokter Obygin tapi sebagai dokter kalau memasukkan sesuatu yang sifatnya sintetis ke tubuh pasti di awal akan ditanya tuh Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Medis

Riwayat haid (teratur nggak?), Riwayat menyusui, Riwayat alergi, Riwayat penyakit dalam (hipertensi, diabetes, penyakit liver, gangguan pembekuan darah), Riwayat KB sebelumnya dan efeknya

Nah dari sini dokter bisa tahu apakah tubuh Ibu sensitif terhadap hormon atau enggak
Selanjutnya nanti pasti ambil darah untuk Tes Fungsi Hati (SGOT-SGPT)

Karena KB hormonal itu diproses di hati, wajib tahu dulu kondisi liver kita kuat apa enggak. Kalau hasil SGOT/SGPT-mu tinggi, berarti hati kamu lagi kerja keras atau ada masalah, dan tambahan beban dari hormon bisa jadi terlalu berat. 

Ingat, liver itu organ sabar. Seringnya baru ketahuan setelah rusak parah. 

Ambil darah tadi juga sekalian Tes Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin) Ginjal juga bagian dari sistem ekskresi yang akan bekerja untuk membuang kelebihan hormon sintetis dalam tubuh. Kalau kamu punya riwayat gangguan ginjal, KB hormonal bisa memperparah. 

Lalu, Tes Kehamilan Wajib. Karena jelas, jangan sampai pasang KB dalam keadaan hamil. Nggak semua kehamilan awal terdeteksi lewat gejala, jadi tes ini mutlak. Kemudian USG Rahim dan Payudara (kalau perlu) Kalau dokter mencurigai kamu punya riwayat benjolan, kista, atau nyeri payudara kronis, dokter bisa minta USG untuk cek lebih lanjut. Seharusnya ini jadi pertimbangan, apalagi buat kamu yang usianya sudah di atas 30-an.

Banyak kan testnya. Yang langsung pasang gas gess gosss Goblok kayak aku, jangan ya dek yaaaa!

Bukan Cuma Urusan Hormon
Kalau mau sedikit ilmiah jangan kabur dulu KB hormonal itu diprosesnya again di hati (SGOT, SGPT) dan juga mempengaruhi fungsi ginjal (ureum, kreatinin). Kalau kedua organ vital ini lagi ngambek, siap-siap aja tubuh kasih “surat peringatan” dalam bentuk gejala yang aneh-aneh.

Puji Tuhan, waktu saya tes darah di RSUP Ben Mboi, fungsi hati, ginjal, dan elektrolit saya masih aman. Hepatitis B? Nol. Infeksi darah? Nggak ada. Tapi periode haid saya jadi panjang lebih mirip pendarahan marathon ketimbang menstruasi normal.

Terus kenapa Banyak yang Langsung Pasang Tanpa Tes? ((Salah satunya saya))
Jawabannya simpel
Kadang karena kurang edukasi (contohnya lagi saya sendiri), berasa GOBLOK banget karena kurang riset.
Kadang karena sistem layanan kesehatan yang terburu-buru. Penjelasan bidan ga detail. 
Dan Kadang karena kita sebagai pasien terlalu manut dan nggak nanya apa-apa
Dan kadang jugaa, karena kita perempuan, kita terlalu sibuk ngurus semua orang kecuali diri sendiri. 

Akhirnya… Bye, KB Implan
Dokter pun menyarankan, selama masa pengobatan dan persiapan operasi, tubuh saya sebaiknya bebas dari hal-hal sintesis yang bikin kerja organ makin berat.
Jadi… yaudah, fix saya lepas.

Sekarang?
Big NO untuk semua jenis KB hormonal. Kapok, Say! Ini cukup jadi pengalaman sekali seumur hidup. Saya anggap ini teguran halus (tapi menohok) dari Tuhan: “Hei, jaga tubuhmu. Itu aset jangka panjang, bukan barang sewaan.”

Kenapa Saya Tulis Ini?
Karena jadi perempuan itu ribet.
Karena anak-anak saya masih kecil dan butuh ibu yang sehat.
Karena kesehatan itu investasi, bukan pengeluaran.

Dan karena saya nggak mau perempuan lain mengalami plot twist hidup yang sama kayak saya.

Bukan larangan. Bukan propaganda anti-KB.
Cuma cerita dari saya yang pernah ketok pintu ruang operasi gara-gara hal yang awalnya kelihatan sepele.

Kalau kamu mau pakai KB hormonal, silakan. Tapi please… kenali tubuhmu, pliss cek dulu ke Dokter SpOG, dan jangan cuma percaya sama “kata orang” "kata kader" dan cari bidan yang penjelasannya lengkap bukan sekedar macam iklan yang dijelasin yang manis-manis aja.

Kesehatan itu mahal. Tapi harga penyesalan jauh lebih mahal.

Lorong antara Poli Onkologi dan Poli Urologi di RSUP Ben Mboi itu sempit. Tapi siapa sangka, justru di sanalah ruang paling luas buat cerita, tawa, dan filosofi hidup yang entah bagaimana lebih menenangkan daripada nasihat dokter.

Hari itu, saya duduk menunggu antrean onkologi. Tiba-tiba dari arah kanan, muncul dua bapak-bapak. Satunya agak gendut, satunya lagi pakai pakaian dinas TNI. Mereka berdua duduk seperti sudah langganan, padahal baru kenal tadi pagi.

“Nama saya Yunus, dari Alor,” kata bapak tambun itu, dengan logat yang membuat kata “ginjal” terdengar lebih jenaka daripada menyeramkan.
Orang-orang memanggilnya Bigger Alor karena badannya besar, suaranya besar, dan hatinya lebih besar lagi.

“Sudah tiga kali saya operasi ginjal. Yang paling saya ingat itu operasi malam Natal. Dokter-dokter kayaknya buru-buru, mungkin mau misa malam,” katanya sambil ngakak, seolah yang ia ceritakan bukan operasi besar, tapi pengalaman nonton konser tahun baru.

Saya yang duduk di sebelah mereka hanya senyum-senyum di balik masker.

Bapak satunya, yang ternyata sedang antri di Poli Urologi juga, menimpali,
“Wah jangan-jangan nanti kita operasi pas orang tarik bendera. Orang lain tarik bendera, kita di rumah sakit ditarik batu ginjalnya.”

Ketawa pun pecah di lorong sempit itu. Sampai perawat yang lewat pun senyum-senyum, mungkin heran, ini lorong rumah sakit atau acara stand-up comedy.

Pak Yunus lalu cerita soal operasi ginjalnya yang ketiga. Katanya, waktu itu dia belum sadar penuh dari bius, tapi langsung bangun dan tanya,
“Sudah Natal kah, Suster?”
“Belum, Pak. Ini baru jam 11 malam,” jawab suster.
“Oh, berarti masih bisa doa malam terakhir sebelum batu ginjal saya resmi dikeluarkan.”

Yang bikin saya terharu adalah, mereka bercerita semuanya sambil tertawa. Seolah-olah sakit itu bukan musibah, tapi oleh-oleh dari hidup yang bisa dijadikan bahan ngobrol santai sambil ngopi.

Pak Yunus sempat menoleh ke arah saya, lalu berkata,
“Sakit ini, Bu, bukan untuk ditangisi. Tuhan taruh ini di pundak saya karena Dia tahu, saya bisa bawa sambil jalan saja. Hati yang gembira itu obat paling mujarab. Kalau badan rusak tapi hati tetap sehat, kita tetap bisa hidup panjang.”

Saya hanya bisa mengangguk. Lidah saya tercekat. Padahal niat awal mau curhat tentang hasil biopsi, eh malah dapat siraman rohani ala stand-up comedy dari dua bapak yang lebih lucu daripada acara TV mana pun.

Lalu saya teringat kata-kata Marcus Aurelius, filsuf Stoik yang mungkin kalau hidup sekarang, bakal jadi teman nongkrong Pak Yunus:

“Don’t hope for a life without problems. Instead, pray for the strength to endure them with grace.”

Atau dalam bahasa Pak Yunus, yang jauh lebih membumi:
“Kalau Tuhan kasih ginjal rusak, ya kita benerin. Kalau nggak bisa dibenerin, ya kita ganti. Tapi tetap kita ketawa. Masa iya urus ginjal terus, senyum nggak?”

Di lorong sempit antara dua poli itu, saya belajar sesuatu yang tak tertulis di buku medis manapun: bahwa kadang obat terbaik bukan antibiotik atau analgesik, tapi cerita. Cerita yang lahir dari luka, dibungkus dengan tawa, dan dibagikan tanpa takut terlihat rapuh.

Dan saya pulang hari itu dengan dada yang lebih ringan. Bukan karena hasil Konsul dengan dokter membaik, tapi karena saya bertemu dengan Bigger Alor seorang bapak dari ujung timur negeri ini yang mengajarkan saya bahwa sakit bukan akhir dunia, melainkan jeda untuk mengukur seberapa kuat hati kita menertawakan hidup.


Selfie ala Ibu2

Saya percaya, setiap rumah sakit punya wangi obat dan bunyi mesin. Tapi tidak semua rumah sakit punya lorong sempit yang dipenuhi tawa dua pasien. Dan saya bersyukur, hari itu saya duduk di lorong itu karena di sanalah saya menemukan obat yang tak bisa ditebus di apotek: hati yang gembira.



Aku masih ingat tanggalnya. 20 Mei aku pasang KB implan. Dan entah kenapa, tepat sebulan kemudian, 22 Juni, aku nemu benjolan di payudara kanan. Rasanya seperti tubuh sedang ngasih clue, “eh, ada yang nggak beres nih.”

Awalnya kupikir cuma kelenjar susu biasa. Tapi dia keras. Bulat. Nggak hilang juga walau udah aku kasih kompres air hangat, dipijat pelan, bahkan aku sempat Googling yang malah bikin makin panik.



Akhirnya, aku putuskan periksa. Dari dokter umum naik ke spesialis onkologi, lanjut USG mammae. Di situ dimulailah sesi tanya jawab panjang yang bikin aku merasa seperti mengisi formulir Sensus Penduduk tapi versi medis.

Riwayat menyusui gimana, Bu?"
"Ada riwayat KB hormonal?"

Dan saat kukatakan bahwa aku baru pasang KB implan beberapa minggu sebelum nemu benjolan, dokter hanya mengangguk pelan, mencatat, dan... bilang kalimat yang bikin aku mendadak pengen buka YouTube dan cari video “cara cabut KB implan sendiri di rumah” (jangan ditiru ya, ini hanya perasaan sesaat ).

Kata Dokter: Bukan Cocok-cocokan bu, Tapi Tubuh ibu sedang Bicara
Dokter bilang, benjolan bisa muncul karena banyak faktor. Tapi perubahan hormonal memang jadi salah satu pemicunya. Terutama saat hormon sintetis dari KB hormonal masuk ke tubuh dan tubuh menanggapinya dengan, ya, munculnya “kabar baru” di jaringan payudara.

Yang bikin aku makin merenung adalah obrolan santai (tapi dalem) sama dokter radiologi saat proses USG. Katanya, walaupun dia bukan dokter kandungan, dia nggak terlalu merekomendasikan KB hormonal. Banyak kasus di mana tampak luar si pengguna baik-baik saja, tapi diam-diam ginjal atau hatinya yang diam-diam ‘berteriak’.

Aku terdiam. Karena rasanya... kalimat itu nyentil.
Betul juga ya, nggak semua efek bisa langsung kita lihat. Kadang tubuh kita diam, tapi bukan berarti dia baik-baik saja.

Kenapa Kok Bisa Ada Benjolan?
Ini pertanyaan paling sering aku dapat. Kadang dilontarkan dengan khawatir, kadang dengan penasaran, kadang dengan nada penuh mitos khas netizen konoha:

“Jangan-jangan sering makan ayam potong ya?” “Itu karena pikiran, stres, banyak beban kali.”
“Apa kamu kebanyakan makan tahu-tempe?”

Aku cuma bisa tersenyum. Menjawab satu-satu semampuku. Kadang iya, kadang aku jawab:

“Mungkin ini tubuhku bilang: aku perlu istirahat dan didengar.”

Faktanya, benjolan bisa muncul karena perubahan hormon, riwayat menstruasi atau kehamilan, KB hormonal, stres, pola makan, hingga faktor genetik. Tapi yang paling penting adalah: tahu lebih cepat sama dengan bisa ditindak lebih cepat.

Karena itulah, aku jalanin prosesnya. USG. Biopsi. Analisa patologi anatomi. Bukan karena aku takut, tapi karena aku sayang tubuhku dan nggak mau nebak-nebak soal hal yang harusnya jelas.

Orang bilang, perempuan itu kuat. Tapi aku percaya, perempuan kuat bukan karena tak pernah lemah, tapi karena tetap bergerak walau sedang tertatih-tatih. Saat operasi pun aku tidak ditemani suamiku karena dia jadi garda utama di rumah ngurus 3 anak. Aku ditemani keponakan anak dari kakak iparku. Thanks to Kakak Stela for your time, limpah berkat buat Kakak lancar kuliahnya ya.

Selama di rumah sakit aku jadi banyak diam
Dalam diam aku belajar dari rasa panik, dari kata dokter, dari pertanyaan orang-orang. Kalau memang ini jalannya, ya aku jalani. Karena tubuh ini bukan sekadar rumah, tapi juga sahabat. Dan seperti sahabat baik, dia berhak didengar, bukan dicurigai.

Aku nggak lagi pakai KB hormonal sekarang. Tubuhku sudah cukup memberi tanda. Dan mungkin just maybe aku sedang belajar mendengarkannya lebih dalam kali ini.

Buat pembaca kalau kamu juga lagi mengalami hal yang sama, tenang. Kita nggak sendiri. Nggak semua benjolan itu ganas. Tapi semua benjolan pantas diperiksa.

Karena lebih baik tahu lebih cepat, daripada menyesal terlalu lama. Dan kalaupun ada yang harus diangkat, ya sudah. Hidup terus berjalan. Kadang lebih ringan setelah yang "mengganjal" pergi.


Kalau dengar kata “operasi” atau “biopsi”, biasanya langsung yang terbayang adalah hal-hal mengerikan: ruang operasi putih dingin, bau steril, suster dengan alat-alat tajam, dan kita rebahan pasrah kayak di serial NETFLIX

Tapi kenyataannya, pengalaman eksisi biopsi yang saya jalani… ternyata nggak se-menyeramkan itu. Serius. Saya malah bisa bilang ini salah satu titik hidup yang bikin saya belajar banyak hal, termasuk soal ketenangan, ketetapan hati, dan ya tentu saja: syukur yang nggak habis-habis.

BIRADS 4A: Bukan Vonis, Tapi Petunjuk
Semuanya bermula dari hasil USG yang menunjukkan kode “BIRADS 4A”. Buat yang belum tahu, ini bukan nomor antrean BPJS atau ukuran bra. BIRADS 4A itu artinya: “Lesi ini dicurigai jinak, tapi kita harus pastikan dengan biopsi.”

Awalnya deg-degan. Saya googling sana-sini, lalu malah tambah panik karena ketemu forum-forum yang isinya dramatis semua. Tapi pelan-pelan saya sadar: kecemasan itu sering datang bukan dari fakta, tapi dari imajinasi kita sendiri yang kebablasan. 

Kata filsuf Stoik Epictetus, 

“Bukan kejadian itu sendiri yang menyakiti kita, tapi tafsiran kita tentang kejadian itu."

Jadi saya mantap. Oke, biopsi jalan terus.

Sedikit tentang biopsi 
Ini adalah jenis-jenis biopsi, khususnya yang sering digunakan untuk mendeteksi kelainan di payudara seperti FAM atau saat BIRADS 4A, tapi bisa juga berlaku umum untuk organ lain.

1. Fine Needle Aspiration (FNA)
Ciri-ciri:
Jarum kecil dan tipis (seperti jarum suntik)
Mengambil cairan atau sedikit sel
Tidak pakai sayatan
Cepat, minim rasa sakit
➕ Kelebihan:
Praktis, bisa dilakukan di klinik
Nyaris tanpa bekas
➖ Kelemahan:
Kadang hasilnya kurang akurat (sulit membedakan jinak/ganas), Bisa perlu biopsi lanjutan

2. Core Needle Biopsy (CNB)
Ciri-ciri:
Jarum lebih besar, ambil potongan jaringan (bukan hanya sel)
Biasanya dibantu USG untuk presisi
Dilakukan dengan bius lokal
Bisa dilakukan rawat jalan
➕ Kelebihan:
Lebih akurat dari FNA
Jaringan cukup untuk analisis lengkap (termasuk imunohistokimia)
➖ Kelemahan:
Bisa meninggalkan memar ringan
Ada rasa tidak nyaman singkat

3. Vacuum-Assisted Biopsy (VAB)
Ciri-ciri:
Menggunakan alat hisap (vakum) untuk ambil jaringan lebih banyak
Tetap pakai jarum, tapi lubangnya besar
Kadang bisa mengangkat seluruh benjolan kecil (<2 cm)
➕ Kelebihan
Lebih banyak jaringan → hasil lebih akurat
Bisa lebih bersih, kadang tidak perlu eksisi lagi
 ➖ Kelemahan:
Lebih mahal
Tidak semua RS punya alat ini

4. Eksisi Biopsi (Operasi Pengangkatan Benjolan)
Ciri-ciri:
Dilakukan oleh dokter bedah
Benjolan diangkat seluruhnya (atau sebagian besar)
Jaringan dikirim ke Patologi Anatomi
➕ Kelebihan:
Diagnosis dan terapi sekaligus
Tidak ada jaringan tersisa untuk dicurigai lagi
➖ Kelemahan:
Perlu sayatan kecil → bekas luka
Bisa butuh bius total/lokal tergantung kondisi

5. Incisional Biopsy (Jarang untuk payudara)
Hanya sebagian kecil jaringan diambil, bukan seluruh benjolan
Umumnya untuk lesi besar di area lain (kulit, otot, organ dalam)

Nah karena saya Eksisi Biopsi maka saya dapat Bius Total.

Hari H: Bius Total, Tidur Pulas, Bangun Kliyengan
Pagi hari jam 8 saya masuk ruang operasi. Prosedurnya eksisi biopsi alias benjolan diambil sekalian. Karena cukup besar ukurannya, dokter menyarankan bius total. Jujur, awalnya saya takut. Tapi begitu masuk ruang bedah, saya malah tenang. Mungkin karena sudah pasrah dan doa udah ditabung sejak malam sebelumnya.

Lalu semuanya gelap.
Saya bangun sekitar jam 11. Masih agak kliyengan, kayak habis mabuk laut padahal nggak naik kapal. Kepala muter-muter dikit, dan mualnya… yaa, 7 dari 10 lah. Tapi ternyata itu efek normal dari bius total. Suster yang jaga juga sigap, jadi saya merasa aman dan terurus.

Dan yang paling melegakan: nggak ada rasa sakit luar biasa kayak yang dibayangkan.

Spesimen Masuk Tabung Formalin
Pas saya sudah agak sadar, suster menunjukkan "si benjolan" yang berhasil diangkat. Ukurannya nggak main-main. Masuk ke tabung kecil berisi cairan formalin, lengkap dengan label nama dan barcode.

Nantinya jaringan ini akan dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi, alias dicek benar-benar di bawah mikroskop: ini jinak atau ganas? Tapi saat itu saya sudah tenang. Karena proses paling penting sudah dilewati.


Setelah Operasi: Luka, Tapi Bukan Duka
Satu hari pasca operasi, tentu ada rasa nyeri dan kaku di bagian bekas sayatan. Tapi semuanya tertangani dengan baik. Minum obat sesuai anjuran, istirahat cukup, dan yang terpenting: pikiran tenang.

Saya bersyukur luar biasa. Bukan hanya karena prosedurnya berjalan lancar, tapi juga karena saya dikelilingi orang-orang yang mendukung dengan doa dan semangat. Bahkan senyum para suster pun terasa menyembuhkan.

Di titik ini, saya benar-benar paham: kadang Tuhan memang kasih jalan yang bikin kita takut dulu, tapi ternyata isinya pelajaran dan penguatan.

Jangan Takut Biopsi: Pengetahuan itu Menyelamatkan
Kalau kamu sedang menghadapi hasil BIRADS atau disarankan biopsi, jangan buru-buru takut. Justru ini adalah cara terbaik untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di tubuhmu. Menunda atau menolak hanya akan membuat bayang-bayang lebih besar dari kenyataan.

Dan ingat lagi kata Marcus Aurelius, filsuf Stoik kesayangan saya:
“You have power over your mind not outside events. Realize this, and you will find strength.”

Atau kalau mau diterjemahkan ala emak-emak 
“Yang penting kita tenang. Yang ribet-ribet serahin ke Tuhan dan dokter.”
Sepotong Luka, Sepenuh Syukur
Eksisi biopsi ini adalah luka kecil dengan makna besar. Bukan cuma soal benjolan yang diangkat, tapi juga soal beban batin yang pelan-pelan ikut terangkat. Ini bukan akhir, tapi awal dari hidup yang lebih sadar lebih memperhatikan tubuh, dan lebih menerima apa pun takdir Tuhan dengan lapang dada.


Tanggal 22 Juni itu muncul perasaan aneh waktu aku lagi mandi. Ada benjolan kecil di payudara kanan. Tidak sakit. Tapi jelas bukan hal yang biasanya ada di situ. Sebagai manusia yang punya anak tiga dan waktu tidur terbatas, instingku berkata: “Ini nggak bisa di-skip.”

Jadilah aku SADARI (Periksa Payudara Sendiri). Dan tiga hari kemudian SADANIS (Periksa Payudara Klinis) ke Faskes 1. Dokter yang meraba saya laki-laki ketika meraba sebentar mukanya campuran antara panik dan khawatir, lalu langsung mengangkat wajah dan berkata seperti di serial Netflix

“Saya kasih surat rujukan ya. Ini sebaiknya ke dokter bedah onkologi di RSUP.”

Bayanganku tentang "mungkin cuma kelenjar susu lagi aktif" langsung didepak keluar oleh suara tegas dokter. Di titik itu, aku mulai mengaktifkan mode: Tenang tapi panik dalam hati. 

Seminggu kemudian, di RSUP. Parabaan ulang, USG, dan kontrol. Awalnya sang dokter bilang, “Kayaknya ini BIRADS 3 ya, masih bisa kita pantau.” Tapi pas hasil USG keluar, ternyata resmi jadi BIRADS 4A.

Apa itu BIRADS 4A?

BIRADS sendiri itu singkatan dari Breast Imaging Reporting and Data System semacam sistem kasta untuk klasifikasi hasil imaging payudara. Kalau BIRADS 1 itu kayak laporan nilai anak TK yang bilang “Semuanya baik dan ceria”, maka BIRADS 4A itu kayak guru bilang:

 “Anaknya baik, tapi kami curiga sedikit. Bisa jadi nggak papa, tapi kami perlu panggil orang tua.”

Subkategori BIRADS 4 dibagi tiga:
Kalau dengan bahasa sederhana bisa saya tulis begini
4A: Curiga sedikit (risiko kanker 3–10%)
4B: Curiga sedang (10–50%)
4C: Curiga lumayan banget (risiko kanker tinggi 50–95%)

Jadi, di tengah semua kategori ketidakpastian, BIRADS 4A ini posisinya kayak... dosen killer yang tiba-tiba bilang:
“Nilai kamu 60. Saya kasih kesempatan revisi ya. Tapi saya pantau.”

Lalu apa kata dokter?
“Kami curiga sedikit, tapi belum bisa memastikan. Kita perlu cek jaringannya langsung agar tidak kecolongan.”

Kalimat itu terdengar kalem, tapi di kepala udah muncul kata: biopsi. Bukan karena aku takut jarum atau ruang operasi. Tapi karena kata “cek jaringan” itu bukan kalimat sehari-hari. Itu kata yang biasa muncul di dialog drama Korea yang bertema kedokteran 

Jadi gimana rasanya sekarang?
Sebenarnya aku sudah sampai di titik di mana aku nggak lagi mengandalkan tenang palsu. Aku bukan sok kuat. Tapi lebih ke: aku ibu dari tiga anak balita. Kalau aku tumbang, siapa yang pesenin isi ulang galon? Siapa yang suapin anakku dan masakin anakku.

Ada kekuatan aneh yang muncul waktu tahu kamu nggak bisa kontrol hasil, tapi kamu bisa pilih: terus maju atau tenggelam di ketakutan. Aku pilih yang pertama.

Apa yang kupelajari dari benjolan ini?
Bahwa tubuh kita tuh sebenarnya baik banget. Dia kasih sinyal. Dia nggak langsung lempar bom besar, dia kirim pesan pelan-pelan. Dan kadang, kita baru dengerin kalau sudah muncul bentuk nyata kayak benjolan ini.

Maka BIRADS 4A buatku bukan hukuman. Dia adalah kode alam semesta:

 “Hey, kamu udah capek. Sekarang giliran kamu periksa dan peduli diri sendiri.”

Aku belajar dari stoikisme:

“Kita tidak bisa memilih peristiwa, tapi kita bisa memilih sikap terhadap peristiwa itu.”  Epictetus

Jadi, hari ini aku memilih pasrah yang aktif. Bukan pasrah pasif yang cuma pasrah ke langit tanpa jalan ke rumah sakit. Tapi pasrah versi:

 “Tuhan, saya jalanin. Tapi nanti bantuin ya ngasih hasil yang ringan-ringan aja.”

Kalau nanti biopsi bilang ini cuma fibroadenoma atau papiloma jinak Puji Tuhan Sujud Syukur. Kalau amit-amit lain, ya sudah. Berarti ini fase baru. Dan aku akan hadapi. Karena hidup memang bukan soal apa yang terjadi, tapi bagaimana kita terus bernapas dan bergerak... walau gemetar.

Dan kamu tahu? Ternyata aku bisa juga jadi orang yang berani menghadapi ketidakpastian. Tanpa banyak drama. Tapi tetap boleh nangis di kamar mandi.

Buatmu yang juga perempuan...
Jangan anggap remeh tubuhmu. Benjolan kecil bisa jadi pesan besar. Jangan tunda untuk meraba, memeriksa, bertanya, dan bertindak. Jangan nunggu sakit untuk sayang sama tubuh sendiri.

Karena peduli itu bukan soal panik. Tapi soal cinta. Dan semoga cinta itu cukup kuat untuk bikin kita berani periksa, bahkan kalau jawabannya belum tentu menyenangkan.

Ini bukan cerita sedih. Ini cerita sadar. Cerita tentang keberanian yang tumbuh... dari benjolan kecil di hari yang biasa saja.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

A Travel Enthusiast, Hotel Reviewer, and Food Lovers. Terima kasih sudah berkunjung ke dunia kecil Makvee.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Review Jujur Sate Ratu (Sate Kanak dan Sate Merah)
  • Review Wardah Lightening Facial Scrub
  • Ceradan dan Drama Kulit Keringku: Review Ibu Tiga Anak yang Kulitnya Nggak Bisa Diajak Kompromi
  • Review Jujur Staycation di The Alana Malioboro Hotel
  • Review YATS Colony Jogja
  • Laptop Tipis, Performa Ganas: ASUS Zenbook dan Revolusi Emak Produktif di Era AI
  • Nyaman dan Nikmatnya Menginap di Business Suite Swiss-Belboutique Yogyakarta
  • Review Jujur Le Mindoni Cafe
  • Yogyakarta Independent School: Chinese New Year Celebration
  • Review Jujur Menginap di Zest Hotel Yogyakarta

Categories

Travel Kuliner hotel Travelling hotel review Hotel Jogja

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • Oktober 2025 (1)
  • Agustus 2025 (8)
  • Juli 2025 (1)
  • Juni 2025 (1)
  • Mei 2025 (5)
  • April 2025 (3)
  • Maret 2025 (13)
  • Mei 2024 (2)
  • April 2024 (1)
  • Maret 2024 (2)
  • Januari 2024 (1)
  • November 2023 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (2)
  • Mei 2023 (2)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juni 2022 (2)
  • April 2022 (31)
  • Maret 2022 (5)
  • Februari 2022 (2)
  • Desember 2021 (1)
  • Juni 2021 (1)
  • Mei 2021 (3)
  • April 2021 (2)
  • Maret 2021 (2)
  • Februari 2021 (4)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (8)
  • November 2020 (3)
  • Oktober 2020 (3)
  • September 2020 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Februari 2020 (7)
  • Januari 2020 (1)
  • Desember 2019 (2)
  • November 2019 (3)
  • Oktober 2019 (2)
  • Agustus 2019 (4)
  • Juli 2019 (5)
  • Juni 2019 (10)
  • Mei 2019 (27)
  • April 2019 (5)
  • Maret 2019 (2)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • Desember 2018 (5)
  • November 2018 (1)
  • Oktober 2018 (2)
  • September 2018 (2)
  • Agustus 2018 (2)
  • Juni 2018 (2)
  • November 2017 (1)
  • Mei 2017 (1)
  • Februari 2017 (2)
  • September 2016 (1)
  • Februari 2016 (1)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (2)
  • Mei 2015 (4)
  • November 2014 (1)
  • Oktober 2014 (1)

Komunitas Blogger Jogja

Komunitas Blogger Jogja

BLogger Perempuan Network

BLogger Perempuan Network

Komunitas Emak Blogger

Komunitas Emak Blogger

Popular

  • Review Jujur Sate Ratu (Sate Kanak dan Sate Merah)
    Yummmmy Senja menyapa perutpun berbunyi, tanda tubuh bahwa saatnya makan. Teringat sate favorit yang berada di area Jogja Paradise. Cu...
  • Review Jujur Le Mindoni Cafe
    Hi Nongkrongers? Apa kabar? Aku harap kalian baik dan sehat ya. Sebagai high quality single, Makvee pasti sangat selow dan woles ka...

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template