Aku masih ingat tanggalnya. 20 Mei aku pasang KB implan. Dan entah kenapa, tepat sebulan kemudian, 22 Juni, aku nemu benjolan di payudara kanan. Rasanya seperti tubuh sedang ngasih clue, “eh, ada yang nggak beres nih.”
Awalnya kupikir cuma kelenjar susu biasa. Tapi dia keras. Bulat. Nggak hilang juga walau udah aku kasih kompres air hangat, dipijat pelan, bahkan aku sempat Googling yang malah bikin makin panik.
Akhirnya, aku putuskan periksa. Dari dokter umum naik ke spesialis onkologi, lanjut USG mammae. Di situ dimulailah sesi tanya jawab panjang yang bikin aku merasa seperti mengisi formulir Sensus Penduduk tapi versi medis.
Riwayat menyusui gimana, Bu?"
"Ada riwayat KB hormonal?"
Dan saat kukatakan bahwa aku baru pasang KB implan beberapa minggu sebelum nemu benjolan, dokter hanya mengangguk pelan, mencatat, dan... bilang kalimat yang bikin aku mendadak pengen buka YouTube dan cari video “cara cabut KB implan sendiri di rumah” (jangan ditiru ya, ini hanya perasaan sesaat ).
Kata Dokter: Bukan Cocok-cocokan bu, Tapi Tubuh ibu sedang Bicara
Dokter bilang, benjolan bisa muncul karena banyak faktor. Tapi perubahan hormonal memang jadi salah satu pemicunya. Terutama saat hormon sintetis dari KB hormonal masuk ke tubuh dan tubuh menanggapinya dengan, ya, munculnya “kabar baru” di jaringan payudara.
Yang bikin aku makin merenung adalah obrolan santai (tapi dalem) sama dokter radiologi saat proses USG. Katanya, walaupun dia bukan dokter kandungan, dia nggak terlalu merekomendasikan KB hormonal. Banyak kasus di mana tampak luar si pengguna baik-baik saja, tapi diam-diam ginjal atau hatinya yang diam-diam ‘berteriak’.
Aku terdiam. Karena rasanya... kalimat itu nyentil.
Betul juga ya, nggak semua efek bisa langsung kita lihat. Kadang tubuh kita diam, tapi bukan berarti dia baik-baik saja.
Kenapa Kok Bisa Ada Benjolan?
Ini pertanyaan paling sering aku dapat. Kadang dilontarkan dengan khawatir, kadang dengan penasaran, kadang dengan nada penuh mitos khas netizen konoha:
“Jangan-jangan sering makan ayam potong ya?” “Itu karena pikiran, stres, banyak beban kali.”
“Apa kamu kebanyakan makan tahu-tempe?”
Aku cuma bisa tersenyum. Menjawab satu-satu semampuku. Kadang iya, kadang aku jawab:
“Mungkin ini tubuhku bilang: aku perlu istirahat dan didengar.”
Faktanya, benjolan bisa muncul karena perubahan hormon, riwayat menstruasi atau kehamilan, KB hormonal, stres, pola makan, hingga faktor genetik. Tapi yang paling penting adalah: tahu lebih cepat sama dengan bisa ditindak lebih cepat.
Karena itulah, aku jalanin prosesnya. USG. Biopsi. Analisa patologi anatomi. Bukan karena aku takut, tapi karena aku sayang tubuhku dan nggak mau nebak-nebak soal hal yang harusnya jelas.
Orang bilang, perempuan itu kuat. Tapi aku percaya, perempuan kuat bukan karena tak pernah lemah, tapi karena tetap bergerak walau sedang tertatih-tatih. Saat operasi pun aku tidak ditemani suamiku karena dia jadi garda utama di rumah ngurus 3 anak. Aku ditemani keponakan anak dari kakak iparku. Thanks to Kakak Stela for your time, limpah berkat buat Kakak lancar kuliahnya ya.
Selama di rumah sakit aku jadi banyak diam
Dalam diam aku belajar dari rasa panik, dari kata dokter, dari pertanyaan orang-orang. Kalau memang ini jalannya, ya aku jalani. Karena tubuh ini bukan sekadar rumah, tapi juga sahabat. Dan seperti sahabat baik, dia berhak didengar, bukan dicurigai.
Aku nggak lagi pakai KB hormonal sekarang. Tubuhku sudah cukup memberi tanda. Dan mungkin just maybe aku sedang belajar mendengarkannya lebih dalam kali ini.
Buat pembaca kalau kamu juga lagi mengalami hal yang sama, tenang. Kita nggak sendiri. Nggak semua benjolan itu ganas. Tapi semua benjolan pantas diperiksa.
Karena lebih baik tahu lebih cepat, daripada menyesal terlalu lama. Dan kalaupun ada yang harus diangkat, ya sudah. Hidup terus berjalan. Kadang lebih ringan setelah yang "mengganjal" pergi.
0 comments